Fenomena Budaya Genuk Watu
di Tengah Kota Santri
Kurniawan
Pendahuluan
Genuk Watu
di Butuh Jombang adalah wujud fenomena budaya yang terjadi di masyarakat. Kehadirannya sangat menarik untuk diamati dan
dikaji. Meskipun fenomena seperti ini
dapat dijumpai di daerah lain di Indonesia namun ada sesuatu yang berbeda bila
dibandingkan dengan fenomena budaya di tempat lain.
Letak keunikan dari fenomena genuk watu
adalah perpaduan antara unsur-unsur dinamisme yang masih melekat kuat dan unsur
religi yang kini semakin kental di masyarakat.
Masyarakat mensinergikan kedua unsur tersebut sehingga menjadi budaya
yang berlangsung hingga bertahun-tahun.
Karena itu , faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya dan bagaimana
masyarakat memadukan kedua unsur tersebut serta bagaimana sikap masyarakat
terhadap fenomena ini adalah sangat menarik untuk dikaji.
Proses pemaknaan serupa juga terjadi
pada Kabupaten Jombang yang dalam simbol kedaerahannya diwakili secara dominan
oleh warna-warna hijau dan merah.
Dari kedua warna itu pulalah muncul
akronim kata Jombang, yang terdiri dari ijo (hijau) dan abang (merah). Hingga
saat ini, kedua warna tadi dipercaya sebagai muasal kata Jombang, singkatan
dari ijo dan abang.
Dalam sebuah literatur resmi
keluaran pemerintah daerah (pemda) setempat, Monografi Kabupaten Jombang, ijo
bermakna kesuburan serta sikap bakti kepada Tuhan Yang Mahaesa, sementara abang
dimaknai sebagai sifat berani, dinamis, atau sikap kritis.
Akan tetapi, berbeda dengan
"pengartian resmi" tadi, masyarakat Jombang memiliki cara tersendiri
untuk memaknai keberadaan serta latar belakang budaya mereka.
Menurut sosiolog Universitas Darul
Ulum (Undar) Jombang Dr Tadjoer Ridjal, dalam kultur masyarakat Jawa dikenal
metode pemaknaan, yang diistilahkan dengan kirata, kira-kira ning nyata.
"Sesuatu dimaknai dengan cara
dikira-kira. Jika pemaknaan tadi dirasa cocok, hal itu lantas dipercaya sebagai
suatu kebenaran. Begitu biasanya kultur masyarakat Jawa memahami suatu
identitas," ujar Tadjoer kepada Kompas. Dalam konteks ini, terminologi ijo
dan abang menurut Tadjoer, dimaknai dan sekaligus mewakili latar belakang
kultur masyarakatnya.
Ijo mewakili kultur santri, kaum
agamawan, atau lebih spesifik lagi Islam, yang berasal dari masyarakat pesisir.
Sementara abang dipercaya mewakili kultur masyarakat abangan berpaham
nasionalis, yang berasal dari masyarakat daerah pedalaman dan berlatar sejarah
Mataraman (kejawen).
Akan tetapi, tambah Tadjoer,
walaupun keduanya sering kali dianggap sebagai dua kutub yang berseberangan,
kultur ijo dan abang pada masyarakat Jombang justru sebuah pengecualian.
"Jika pemakanaan tadi ditarik
ke dalam wilayah perspektif historis, pada awalnya semua bermula dari zaman
runtuhnya Kerajaan Majapahit. Keruntuhan itu dipercaya sebagai hancurnya
keselarasan kosmos di bumi Nusantara," papar Tadjoer.
Sejarah kemudian berlanjut dengan
masuknya agama Islam melalui wilayah-wilayah pesisir. Dari konteks sejarah
itulah kemudian muncul dua aliran budaya dominan di tanah Jawa, kaum ijo dan
abangan.
"Pada prosesnya, wilayah
Jombang kemudian dianggap sebagai miniatur dari perpaduan kedua kosmos tadi.
Perpaduan itu memunculkan semangat untuk menjadikannya sebagai ciri khas,"
ujar Tadjoer pula.
Ijo dan abang dalam kultur
masyarakat Jombang menyimbolkan perpaduan sekaligus keseimbangan kosmos baru.
Keseimbangan seperti itulah yang lalu memunculkan nilai-nilai toleransi,
kemoderatan, bahkan pragmatisme di kalangan masyarakatnya.terbukti dengan tidak
pernah ada konflik antar agama atau keyakinan.
Keadaan itu juga didukung oleh
banyaknya pondok pesantren (ponpes) di Jombang. Para
santrinya tidak hanya berasal dari wilayah Jawa Timur, tetapi juga dari luar
Pulau Jawa dengan latar belakang kultur berbeda.
Menurut data Pemkab Jombang tahun
2002, paling sedikit terdapat lebih dari 50 ponpes. Dari seluruh ponpes itu,
ada empat ponpes besar yang didirikan sejak akhir abad ke-19. Sehingga sekarang Jombang sering disebut kota santri. Meskipun
tidak semua warganya beagama Islam.
Fenomena Budaya Genuk Watu
Masyarakat terbentuk dari berbagai macam individu yang memiliki
karakteristik berbeda-beda. Sama halnya
dengan perbedaan-perbedaan antar individu, dalam masyarakat pun juga ada
perbedaan – perbedaan tersebut.
Masyarakat yang satu tentu akan punya karakter yang berbeda dengan
masyaakat yang lain. Perbedaan tersebut
bisa muncul karena banyak faktor penyebabnya, antara lain; letak geografis,
kondisi ekonomi, pendidikan, agama, atau berbagai latar belakang yang lain,
sehingga masing-masing mempunyai budaya yang tidak sama.
Budaya
terbentuk di masyarakat karena dianggap pantas atau layak dijalanakan dan semua warga masyarakat
menyepakatinya. Budaya dalam masyarakat
dapat dikatakan bersifat subyektif.
Daerah tertentu dalam masyarakat tentu menganggap bahawa budayanya baik
dan sesuai dengan mereka. Akan tetapi
kelompok masyarakat yang lain belum
tentu memiliki pendapat yang sama atau bahkan mungkin menganggap budaya
tersebut menyimpang dan hal tersebut dapat
disebut fenomena budaya.
Fenomena
budaya tersebut masih nampak sangat kental di masyarakat dusun Butuh desa
Pandan Wangi, salah satu desa di kota santri Jombang yang sangat populer dengan
sebutan kota santri karena terdapat banyak sekali pondok pesantren. Dipastikan di setiap kecamatannya bahkan
hampir di setiap desa di Jombang berdiri pondok pesatren. Banyak sekali masyarakat dari luar kota berbondong-bondong untuk belajar agama di kota santri tersebut. Namun ironisnya di beberapa daerah di
Jombang, khususnya di dusun butuh unsur dinamisme masih dipegang sangat kuat
oleh masyarakatnya. Dapat dipastikan bahwa
semua warga di dusun tersebut sudah beragama.
Terdapat pula tempat ibadah yaitu masjid dan tempat-tempat belajar
mengaji. Warga dusun tersebut juga
mengaku sebagai penganut Islam yang taat.
Selain
terdapat tempat ibadah, di Butuh juga terdapat sebuah punden yang dibuat oleh
warga yang terletak di pinggir sawah, di kelilngi pagar tembok, di bawah pohon
Kepuh yang sangat besar dan tinggi yang diyakini oleh warganya sebagai makam
pendiri desa mereka yang bernama Ki Ageng Butuh. Tempat tersebut terkenal dengan sebutan Genuk
Watu . Disebut Genuk Watu
karena terdapat genuk yang
terbuat dari batu, oleh warga benda
tersebut dikeramatkan kerena dipercaya sebagai peninggalan pendiri
desanya. Benda tersebut juga tidak
diletakkan sembarangan akan tetapi di tempatkan di bangunan menyerupai rumah
yang dibangun oleh warga setempat di dalam area punden. Konon, Genuk
Watu pernah dipindahakan oleh warga setempat ke desa lain namun entah
bagaiamana caranya, menurut warga tiba-tiba Genuk
tersebut kembali ketempat semula. Karena itu tempat tersebut dianggap
keramat. Meskipun oleh warga
dikeramatkan, tempat tersebut tidak terkesan angker melainkan nampak bersih
karena warga setempat benar-benar menjaga dan merawatnya.
Oleh
karena itu, tempat tersebut sering ramai dikunjungi warga setempat, khususnya
ketika warga sedang hajatan. Bahkan
tidak jarang pada malam Senin dan malam Kamis warga setempat mendatangi tempat
tersebut hingga pagi dengan berbagai macam tujuan, Sudah menjadi tradisi warga Butuh bahwa
setiap warga yang sedang hajatan selalu membawa makanan untuk selamatan disana
dengan mengundang warga sekitar. Tak jarang pula, orang dari luar daerah mendatangi
tempat tersebut khususnya pada hari-hari tertentu menurut penanggalan
Jawa. Oleh sebab itu tempat tersebut
sering ramai didatangi warga.
Lebih-lebih ketika acara sedekah desa atau disebut Bari’an yang
diadakan setahun sekali setelah masa panen tiba, seluruh warga Butuh
berbondong-bondong mendatangi tempat tersebut mulai dari anak-anak sampai orang
tua bahkan para kerabat yang sudah tinggal di luar kota pun menyempatkan diri
untuk mudik karena tidak mau melewatkan acara Bari’an tersebut, tak
pelak tempat tersebut menjadi ramai sekali.
Bahkan sejumlah warga menganggapnya sebagai lebaran kedua setelah hari
raya idul fitri Mereka berdoa bersama
memohon keselamatan dan mengucapakan syukur karena akhirnya bisa berpanen.
Ritual tersebut dipimpin oleh dua orang sesepuh dusun Butuh. Doa Jawa atau
disebut Ujub dibacakan terlebih dahulu, dalam hal ini warga dipimpin oleh
sesepuh desa yang bernama mbah Daim kemudian doa yang sesuai dengan agama
mereka (Islam) yaitu Tahlil yang dipimpin oleh mbah Jito.. Setelah Ujub dan Tahlil
dibacakan mereka saling bertukar tumpeng dan buah yang mereka bawa dari
rumah, baru kemudian makan bersama di tempat tersebut. Acara Bari’an belum berakhir disitu
tetapi masih berlanjut pada siang, sore dan
malam harinya. Masyarakat Butuh
bersenang – senang dengan hiburan Jaranan, Ludruk dan Wayang dari pagi
sampai pagi lagi
Sampai
saat ini masyarakat Butuh masih menganggap budaya tersebut pantas dilestarikan
dan harus dijalankan setiap tahunnya. Mereka juga percaya kalau sampai warga
tidak mengadakan Bari’an maka akan
ada petaka yang akan mengancam mereka
Akan tetapi bukan tidak mungkin budaya tersebut akan berubah suatu saat
nanti seiring dengan perubahan kondisi masyarakatnya.
Sama
halnya dengan kondisi kelompok masyarakat lain, kondisi masyarakat Butuh juga
beragam secara ekonomi, pendidikan, sosial, dan religinya. Secara umum kondisi masyarakat dilihat dari
segi ekonomi bisa dikatakan cukup, dengan mayoritas pekerjaan penduduk sebagai
petani. Dari segi pendidikan memang
dapat dikatakan masih kurang karena banyak masyarakatnya yang hanya lulusan
SD. Akan tetapi sekarang sudah mulai ada
perubahan terbukti dari mulai banyaknya masyerakat yang menyekolahkan
anak-anaknya sampai jenjang SLTA. Dari
segi sosial, masyarakat Butuh pantas
dikatakan baik karena kerukunan warga selalu terpelihara terbukti masih
dijujung tingginya gotong-royong di daerah tersebut. Dari segi religi juga dapat dikatakan sudah
cukup karena semua masyarakatnya kini sudah beragama dan mulai beberapa tahun
lalu telah dibangun masjid di dusun tersebut.
Masyarakat
sampai saat ini berhasil mensinergikan usur dinamisme dan religinya yang
sebenarnya oleh kelompok masyarakat lain di sekitar desa tersebut dianggap
menyimpang. Akan tetapi sangatlah
mungkin budaya seperti Bari’an di Genuk Watu ini bisa
tergeser oleh budaya yang lain seiring dengan jalannya waktu karena pada dasarnya
masyarakat akan selalu berubah apalagi dengan semakin banyaknya warga pendatang
baru dan semakin tingginya pedidikan masyarakat. Apalagi Butuh terletak di tengah kota santri yang mayoritas
warganya beragama Islam dan menganggap Bari’an sebagai fenomena budaya
yang tidak sesuai dengan ajaran
Islam. Sehingga memungkinkan
berubahnya pola pikir masyarakat.
Penutup
Masyarakat
akan terus melestarikan budayanya apa bila masih menganggap budaya tersebut
sesuai dan layak bagi mereka. Akan tetapi semakin membaiknya kondisi ekonomi,
semakin tingginya pendidikan masyarakat, semakin baiknya kehiduan social , dan
semakin kuatnya keimanan masyarakat terhadap agamanya, yang menyebabkan
terjadinya perubahan pola pikir dan pola hidup masyarakat memungkinkan budaya Bari’an
di Genuk Watu Butuh suatu saat nanti dapat tergeser oleh budaya
lain.
Juru kunci (sebelah kiri)
Genuk Watu
No comments:
Post a Comment