SHOW

SELAMAT DATANG | SEMOGA SITUS INI BISA BERMANFAAT DAN MENGINSPIRASI

Dropdown Menu

Sintaksis Bahasa Jawa: FRASA VERBAL DAN VERBA MAJEMUK DALAM BAHASA JAWA



FRASA VERBAL DAN VERBA MAJEMUK

DALAM BAHASA JAWA
Kurniawan

1.  Pendahuluan


Kalimat adalah bagian terkecil ujaran atau teks (wacana) yang mengungkapkan pikiran yang utuh secara ketatabahasaan (       ,1988:254).  Kalimat merupakan konstruksi gramatikal tertinggi. Konstruksi yang bertingkat lebih rendah menjadi konstituen dari konstruksi yang bertingkat lebih tinggi, sedangkan frasa  merupakan konstruksi gramatikal yang berada di bawah kalimat, di samping satuan gramatikal yang lain, seperti klausa, kata, dan morfem.
Frasa adalah satuan linguistik yang secara potensial merupakan gabungan dua kata atau lebih yang tidak mempunyai ciri - ciri klausa (Tarigan, 1985:68). Di dalam dunia pendidikan khususnya pendidikan formal di sekolah, seringkali dipertanyakan dan diperdebatkan tentang perbedaan frasa dan kata majemuk.  Ini merupakan pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab. 
Oleh sebab itu, sangatlah menarik untuk mengetahui perbedaan – perbedaan antara frasa dan kata majemuk.  Karena luasnya bahasan mengenai frasa dan kata majemuk maka pembahasan pada makalah ini dibatasi hanya pada frasa verbal dan kata kerja majemuk atau dapat disebut verba majemuk khususnya pada bahasa Jawa, yang meliputi; verba majemuk dasar, verba majemuk berafiks, dan verba majemuk berulang, sedangkan pada frasa verba meliputi; pengertian dan jenis – jenis frasa verbal. 

2.   Verba Majemuk
Verba majemuk adalah verba yang dasarnya terbentuk melalui proses pemajemukan dua morfem asal atau lebih, atau verba yang berafiks yang kemudian digabungkan dengan kata atau morfem terikat sampai menjadi satu satuan makna.  Verba majemuk memiliki ciri-ciri yang membedakannya dari konstruksi sintaksis seperti frasa.  Ciri – ciri yang dimaksusd adalah sebagai berikut:
·         Komponen verba majemuk mengandung satu makna.  Makna pada masing – masing komponen tidak diperhitungkan lagi.  Misalnya dalam bahasa Jawa, nggado ati ‘menyusahkan’ , jadi tidak ditafsirkan lagi sebagai gabungan kata nggadho ‘makan’ dan ati ‘hati ayam/sapi’.  Sebaliknya pada bentuk nggadho ati seperti pada kalimat

(1)      Indra seneng nggadho ati ayam. ‘Indra suka makan hati ayam’

makna nggadho dan ati masing-masing harus dipertimbangkan.
·         Salah satu konsekuensi dari keutuhan makna tersebut di atas adalah bahwa jika verba majemuk diberi keterangan, maka yang diterangkan adalah keseluruhan verba tersebut dan bukan komponennya.
Misalnya:

(2)      Bocah iku pancen nggadho ati  ‘Anak itu memang menyusahkan’

      Kata keterangan pancen adalah untuk memberi keterangnan terhadap nggadho ati dan bukan nggadho dan ati.  Sebaliknya, pada frasa verbal, bagian yang di dalamnya harus diperhatikan dalam hubungannya dengan kata keterangan.

·         Komponen verba majemuk tidak dapat diperluas lagi.  Misalnya, verba majemuk nggadho ati tidak dapat diperluas lagi menjadi nggadho ati ayam.seperti yang terlihat pada kalimat (1). 
·         Susunan komponen verba majemuk cenderung tidak dapat dibalikkan.  Misalnya, methik layang ‘menyontek’ tidak dapat diubah menjadi layang methik.
·         Komponen verba majemuk cenderung tidak lagi dipisahkan dengan menyisipkan suatu morfem.

2.1              Verba Majemuk Dasar
Verba majemuk dasar ialah verba majemuk yang tidak berafiks dan tidak mengandung komponen berulang, dan dapat berdiri sendiri dalam frasa, klausa, atau kalimat, seperti yang terdapat dalam kalimat berikut.

(3)      Wartawan iku kulak warta ing gunung kelud. ‘Wartawan itu mencari berita di gunung kelud’
(4)      Sak wise weruh perkarane, deweke lumah tangan. ‘Setelah tahu perkaranya, dia tidak mau ikut campur’

2.2  Verba Majemuk Berafiks
            Verba majemuk berafiks adalah verba majemuk yang mengandung afiks tertentu, seperti dalam kalimat berikut.

(5)      Dinar kegugah atine sak wise dikandhani karo bapakke ‘Dinar ingat setelah dikasih tahu ayahnya’.
(6)      Cah ayu kuwi pancen atine momot ‘ Anak yang cantik itu memang sabar sekali’.

Verba majemuk berafiks dapat dibagi atas:
a. verba majemuk berafiks yang pangkalnya berupa bentuk majemuk yang pangkalnya tidak dapat berdiri sendiri dalam kalimat yang seterusnya disebut bentuk majemuk terikat.
b. verba majemuk berafiks yang pangkalnya berupa bentuk majemuk yang dapat berdiri sendiri dan seterusnya disebut bentuk majemuk bebas
c. verba majemuk berafiks  komponennya telah berafiks terlebih dahulu.  Berikut ini akan diberikan contoh dari masing - masing jenis tersebut.

2.2.1  Verba Majemuk Berafiks dengan Pangkal Majemuk Terikat
. Verba majemuk berafiks yang pangkalnya berupa bentuk majemuk yang pangkalnya tidak dapat berdiri sendiri dalam kalimat dan seterusnya disebut bentuk majemuk terikat. Berikut adalah contoh verba majemuk berafiks jenis verba majemuk terikat.

Mbuang sangkal ‘membuang apes’
Kegugah atine ‘sadar/ingat’

2.2.2 Verba Majemuk Berafiks dengan Pangkal Bentuk Majemuk Bebas
Verba majemuk berafiks yang pangkalnya berupa bentuk majemuk yang dapat berdiri sendiri dan seterusnya disebut bentuk majemuk bebas.  Paduan yang menjadi dasar afiksasi ini umumnya berupa (a) verba, (b) nomina, dan (c) adjektiva.


a.       verba
ngadol bagus ‘mengandalkan kegantengan’
ngangsu kawruh ‘mencari ilmu dengan sungguh-sungguh’

b. nomina
ngidu geni ‘ mengucapkan sesuatu yang bisa terjadi’

c.  adjektiva
Ngabangake kuping ‘membuat jengkel’
Mentahi rembug ‘menyangkal’

            Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa afiks dapat ditambahkan untuk membentuk verba majemuk berafiks.  Sebagaimana afiksasi umumnya, yang menjadi kendala terhadap penambahan afiks pada pangkal yang berupa bentuk majemuk bebas terutama adalah faktor semantis.

2.2.3 Verba Majemuk Berafiks dengan Komponen yang Telah Berafiks Lebih Dahulu.
   Verba majemuk berafiks  komponennya telah berafiks terlebih dahulu.  Berikut ini akan diberikan contoh dari masing - masing jenis tersebut.
Berikut adalah beberapa contohnya.

Akeh sandhungane ‘banyak halangannya’
Mata dhuwiten ‘serakah’
Wedi kangelan ‘malas’

2.2              Verba Majemuk Berulang
Verba majemuk dalam bahasa jawa dapat direduplikasi jika kemajemukannya bertingkat  dan jika intinya adalah bntuk verba yang dapat direduplikasi pula.
Contohnya:

Adol bagus      -    adol-adol bagus ‘ mengandalkan ketampanan’
Kulak warta    -    kulak-kulak warta ‘mencari berita’
Meres keringet-   meres-meres keringet ‘bekerja sungguh-sungguh’

Dari contoh diatas atas tampaklah bahwa hanya komponen verbalah yang mengalami reduplikasi.

3.  Frasa Verbal
3.1 Pengertian Frasa Verbal
            Frasa verbal adalah frasa yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata verbal (Ramlan, 1996:168).  Frasa tersebut terbentuk dari dua kata atau lebih dengan verba sebagai intinya.dan bukan merupakan klausa.  Dengan demikian, frasa verbal mempunya inti dan kata lain yang mendampinginya.  Posisi kata pendamping ini tegar (fixed) sehingga tidak dpat dipidahkan secara bebas ke posisi lain.  

Marilah kita amati frasa verbal dalam kalimat berikut ini.
(7)      Adhiku wis dadi dokter. ‘Adikku sudah menjadi dokter’.
(8)      Bapakku bade tindak. ‘Bapakku akan pergi’
(9)      Kowe ora kudu sinau. ‘Kamu tidak harus belajar”
(10)  Aku kudu nulis maneh. ‘Aku harus menulis lagi’
(11)  Ratih kerep dolan lan sinau ing omahku ‘Ratih sering bermain dan belajar di rumahku’
(12)  Kowe oleh nyanyi utawa nari. ‘Kamu boleh menyanyi atau menari’


Konstruksi wis dadi, bade tindak, ora kudu sinau, kerep dolan lan sinau, dan oleh nyanyi utawa nari adalah frasa verbal.  Yang menjadi inti pada masig-masing frasa verbal diatas adalah dadi, tindak, sinau, nulis.  Pada kalimat (11) dan (12) kedua verba masing-masing kalimat menjadi inti dengan lan serta utawa sebagai penghubungnya.

3.2 Jenis – Jenis Frasa Verbal
            Menurut konstruksiya, frasa verbal dapat terdiri atas verba inti dangan kata lain yang bertindak sebagai penambah arti verba tersebut.  Konstruksi seperti wis dadi, bade tindak, ora kudu sinau adalah jenis frasa verbal endosentrik atributif.  Frasa verbal seperti kerep dolan lan sinau, dan oleh nyanyi utawa nari masing-masing mempunyai dua verba inti  yang dihubungkan dengan kata lan dan utawa. Frasa seperti itu disebut frasa endosentrik koordinatif.

3.2.1 Frasa Endosentrik Atributif
            Frasa verbal yang endosentrik atributif terdiri atas inti verba dan pewatas (modifier) yang ditempatkan dimuka atau dibelakang verba inti.  Yang di muka dinamakan pewatas depan dan yang di belakang dinamakan pewatas belakang. 
            Kelompok kata yang berfungsi sebagai pewatas depan adalah  kudu, oleh, isa,seneng, pingin, dan arep.  Dilihat dari segi urutannya, arep selalu mendahului yang lain dan kata kudu mendahului isa, oleh, seneng, pingin, dan arep. Dengan demikian maka bagannnya adalah sebagai berikut.


Urutan

1
2
3
arep/bade
kudu
oleh
isa
seneng
pingin
arep
 Urutan pewatas verba

Perhatikan contoh berikut.

(13)  Siti arep budhal nang pasar. ‘Siti akan pergi ke pasar’
(14)  Kowe kudu nggarap PR. ‘Kamu harus mengerjakan PR’
(15)  Dhewekke oleh ngajokake beasiswa. ‘Dia dapat mengajukan beasiswa’
(16)  Aku kudu isa ngalahake Roni. ‘Aku harus bisa mengalahkan Roni’
(17)  Aku arep kudu isa rampung. ‘Aku akan harus bisa selesai’.

Dari contoh diatas, jelaslah bahwa kata yang dinamakan verba bantu itu memenuhi urutan tertentu.  Seperti pada contoh (17), kemungkinan tiga jenis bisa dipakai bersama-sama tetapi pada umumnya orang menghindari bentuk seperti ini. 
Ada kelompok kata lain yang dinamakan aspek yang bertindak pula sebagai pewatas depan verba dan dapat bergabung dengan verba Bantu.  Kelompok aspek itu terdiri dari dua kata; yakni wis dan lagi.
Aspek wis dapat mendahului atau mengikuti verba bantu arep atau kudu.  Aspek lagi dapat berperilaku sama dengan wis, tetapi terbatas pada verba bantu arep saja.  Aspek lagi pada umumnya tidak dapat bergabung dengan kudu.  Dengan memperhatikan keserasian makna, baik lagi maupun wis dapat digabungkan dengan kelompok urutan ketiga verba bantu dengan ketentuan selalu mendahului kelompok itu.  Jadi, wis isa, wis oleh, lagi seneng, dan lagi pingin berterima, tetapi *isa wis, *oleh wis, *seneng lagi, dan *pingin lagi tidak berterima. 

Perhatikan contoh berikut.
(18)  Agus wis setuju. ‘Agus sudah setuju’
(19)  Parmin lagi maca Koran. ‘Parmin sedang membaca koran’
(20)  Buyutku wis arep lunga. ‘Buyutku sudah akan pergi.’
(21)  Aku arep wis rampung yen kowe teka jam lima sesok. ‘Aku akan sudah selesai ketika kamu datang jam lima besuk.’
(22)  Wati lagi arep adus. ‘Wati sedang akan mandi’
(23)  Yen kowe teka saiki, deweke arep lagi nggarap soal iku. ‘Kalau kamu datang sekarang, dia akan sedang mengerjakan soal itu.’
(24)  Masmu wis kudu teka kene jam lima isuk. ‘Masmu sudah harus sampai sini jam lima pagi.’
(25)  Masmu kudu wis teka kene jam lima isuk. ‘Masmu harus sudah sampai sini jam lima pagi.’
(26)  Adhimu wis oleh ngombe es. Adikmu sudah boleh minum es.’
(27)  Aku wis isa ngalahake Tumini. ‘Aku sudah bisa mengalahkan Tumini.’
(28)  Ibune wis arep isa mbayari SPPne. ‘Ibunya sudah akan bisa membayar SPP-nya.’
(29)  Aku kudu wis isa nrampungake perkara iki saiki. Aku harus sudah bisa menyelesaikan perkara ini sekarang.’ 

Pertukaran tempat dari aspek dan verba bantu itu pada umumnya menimbulkan pergeseran arti yang halus.  Walaupun demikian, pembalikan tempat itu kadang-kadang juga tidak menimbulkan perbedaan makna.  Perhatikan kalimat (24) dan (25). 
Disamping verba bantu dan aspek, ada kelompok ketiga yang dapat pula bertindak sebagai pembatas depan verba.  Kelompok itu disebut kelompok pengingkar yang terdiri dari kata ora ‘tidak’ dan during ‘belum’.  Kaidah umum mengenai pengingkar itu ialah tidak mengingkarkan kata yang berdiri di depannya.  Perhatikan contoh berikut.
           
(30)  Aku ora kawin ‘ Aku tidak kawin’
(31)  Aku ora kudu kawin ‘Aku tidak harus kawin’
(32)  Aku kudu ora kawin ‘Aku harus tidak kawin’ 

Pada kalimat (30), ora mengingkarkan verba kawin.  Pada kaliamt (31) yang diingkarkan adalah kata kudu atau kudu kawin.  Pada nomor (32) kudu tidak dikenai ingkar oleh kata ora; yang dikenai ingkar hanya kata kawin saja.  Dengan demikian, makna kalimat (32) sama dengan aku kudu lajang ‘aku harus lajang’.
Pada dasrnya pengingkar ora dapat ditempatkan dimana saja diantara verba bantu, di antara kata-kata aspek, atau di antara kedua kelompok itu.  Berikut adalah beberapa contoh tambahan.

(33)  Adhiku ora arep teka. ‘Adikku tidak akan (mau) datang’
(34)  Adhiku arep ora teka. ‘ Adikku akan tidak datang’
(35)  Adhiku ora arep (bakal) ora teka. ‘Adikku tidak akan tidak datang’

Dari contoh nomor (35) di atas nampak bahwa dua pengingkar dapat dipakai bersama-sama jika maknanya memungkinkan.
Berbeda dengan pewatas depan, pewatas belakang verba sangat terbatas macam dan kemungkinannya.  Pada umumnya pewatas belakang verba terdiri atas kata seperti malih atau maneh (dalam arti tambah satu kali). Berikut adalah contohnya.
(36)  Aku nulis maneh makalah iki. ‘Aku menulis lagi makalah ini’
(37)  Parmi ora bakal teka maneh. ‘Parmi tidak akan datang lagi.’

Contoh (37) menunjukkan kemungkinan adanya pewatas depan dan pewatas belakang pada frasa verba yang sama.

3.2.2. Frasa Endosentrik Koordinatif
            Wujud frasa endosentrik koordinatif sangatlah sederhana, yakni dua verba yang digabungkan dengan memakai kata penghubung lan ‘dan’ atau utawa ‘atau’. Tentu saja verba bentuk itu juga dapat didahului atau diikuti oleh pewatas depan dan pewatas belakang. Perhatikan contoh berikut.

(38)  Surti nangis lan ngratapi nasipe ‘Surti menangis dan meratapi nasibnya’
(39)  Kowe nari utawa nyanyi?. ‘Kamu menari atau menyanyi?’

4.  Kesimpulan
  • Hal yang paling membedakan antara frasa dan kata majemuk ialah bahwa kata majemuk memiliki makna baru atau memiliki satu makna.sedangkan frasa tidak memiliki makna baru melainkan makna sintaktik misalnya, nggado ati ‘membuat jengkel’ nggado dan ati tidak dimaknai kata perkata melainkan menjadi satu kesatuan yang punya makna baru yaitu membuat jengkel.
  • Berdasarkan bentuk morfologisnya, verba majemuk terbagi atas verba majemuk dasar, verba majemuk berafiks, dan verba majemuk berulang.
  • Dilihat dari konstruksinya, frasa verbal dapat terdiri atas verba inti dengan kata lain yang bertindak sebagai penambah arti verba tersebut.  Konstruksi seperti wis tangi, arep lunga, ora kudu lunga merupakan jenis frasa verbal yang berbentuk endosentrik atributif.  Frasa verbal seperti nari lan nyanyi, tangi utawa turu masing-masing mempunyai verba inti yang dihubungkan dengan lan dan utawa.  Frasa seperti itu disebut endosentrik koordinatif.



DAFTAR PUSTAKA

Chaer A,. 2003.Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta

Mangunsuwito. 2002. Kamus Lengkap Bahasa Jawa. Bandung : Yrama Widya.

Tarigan  1985. Prinsip-Prinsip Dasar Sintaksis. Bandung: Angkasa.

……………. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta Balai Pustaka


Related Articles:

1 comment:

  1. Maaf pak saya ingin bertanya,
    apakah bapak mempunyai buku tetntang kata majemuk bahasa jawa,
    terima kasih

    ReplyDelete