TINGKAT TUTUR BAHASA JAWA DALAM PROGRAM BERITA KABAR AWAN DI TATV SOLO (KAJIAN
SOSIOLINGUISTIK)
Oleh Kurniawan
Abstract
This research is intended to describe the
Javanese speech levels in Kabar Awan
news program about forms of speech level used in Kabar Awan news program
at TATV, factors determining the
speech level selection, patterns of the speech level selection, and patterns of
the lexicon selection.
Data of the descriptive qualitative
research were taken from Kabar Awan news program broadcasted from local
television TATV in Solo in December
2008 specially December 25th up to 30th, 2008. The data were taken by recording Kabar Awan transcribed into text.
The data were classified into eight kinds of speech which were expressed
by news readers and callers. Structural
method and contextual method were used to analyze the data.
The
result of the data draws that forms of speech levels found in Kabar Awan are ngoko and krama then the
two kinds of speech levels develop to be ngoko
lugu, ngoko alus, krama lugu, and
karma alus. From the four kinds of
speech level, ngoko lugu, ngoko alus,
krama lugu, and krama alus, the
most dominant speech level used in Kabar
Awan is ngoko lugu.
To
determine the speech levels used, there are some social factors that influence. The factors influencing the forms of speech
level selection in Kabar Awan are
formality of individual relation between the first person and the second person
consisting intimacy and age, speech aim, the third person appearance in the
speech, and also the norm or rule to obey.
The
difference and similarity of social factors between addresser and addressee
cause symmetric and asymmetric relation, intimate and not intimate relation and
integration of both of them which becomes symmetric-intimate, symmetric-not
intimate, asymmetric-intimate, and asymmetric-not intimate. This research found three relations involving
news readers and callers. They are
symmetric-intimate, asymmetric-intimate, and asymmetric-not intimate. Symmetric-intimate produces patterns, ngoko lugu with ngoko lugu, ngoko lugu with ngoko
alus. Asymmetric-not intimate produces patterns karma alus with krama
alus. Asymmetric-intimate produces
pattern krama lugu with karma alus.
If krama
inggil used to respect addreesee does not have any lexical form, the
lexicon tends to be krama. If krama andhap used to descend oneself
does not have any lexical form, karma
will be used. But if krama andhap used to descend oneself
does not have comparison, krama, ngoko and netral will be used. So the use of krama inggil to descend oneself for respecting the addressee is not
right. However the patterns to require
the first person to use krama and krama inggil to the second person, and
to use krama and krama andhap for oneself is not used in greeting. It is because greeting is always used to the
second person, so it should be answered with the same lexicon.
Keywords: Kabar Awan, Lexicon, and Speech Levels
A. Pendahuluan
Berita saat ini
menjadi salah satu program yang digemari oleh masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya
stasiun televisi yang menayangkan program berita . Ini merupakan jawaban atas kebutuhan
masyarakat akan informasi karena menurut Spencer dalam Dedi Iskandar Muda
(2005:21) berita adalah setiap fakta yang akurat atau suatu ide yang dapat
menarik perhatian bagi sejumlah besar pembaca atau pendengar. Untuk menarik
perhatian audience, kini berita tidak
hanya disiarkan dalam bentuk atau ragam resmi saja melainkan juga dikemas dalam
suasana santai, bahkan banyak juga yang dibuat lebih variatif dengan mengundang
para pemirsa untuk bergabung secara interaktif melalui telepon untuk memilih
berita dan memberi komentar atau opini.
Salah satu siaran berita yang memberi kesempatan kepada audience dengan telepon interaktif secara
langsung untuk memilih berita sekaligus memberi komentar adalah Kabar Awan yang ditayangkan oleh stasiun televisi lokal TATV di Solo.
Kabar Awan adalah program livenews
yang menampilkan sembilan berita pilihan yang bisa dipilih oleh pemirsa secara
langsung dan pemirsa bisa memberikan komentar serta opini yang disampaikan
dengan menggunakan bahasa Jawa sehari-hari. Bahasa pengantar dalam program ini
adalah bahasa Jawa. Acara ini dapat
dipantau di dua belas kabupaten di Jawa Tengah khususnya sekitar Solo. Banyak
informasi baik nasional maupun lokal yang bisa disimak melalui acara ini. Sehingga banyak warga masyarakat yang
memantau dan sekaligus berinteraksi melalui telepon untuk memilih berita dan
berkomentar. Selain informasi, ada hal
lain yang menarik untuk diamati dalam acara ini, yaitu bahasa yang digunakan
khususnya ragam tingkat tutur yang terefleksi dalam tuturan berita, tuturan
pembaca berita, dan tuturan penelepon.
Dengan adanya ragam bentuk tingkat tutur bahasa Jawa dalam tuturan
pembaca berita dan penelepon ketika terjadi interaksi dalam program berita Kabar Awan, maka menjadi menarik mengamati tingkat tutur bahasa dalam
acara Kabar Awan yang meliputi bentuk tingkat tutur dan faktor penentunya serta
pola pemilihan bentuk tingkat tutur dan pola pemilihan leksikonnya.
Tingkat tutur (speech levels) dalam suatu bahasa pada umumnya terjadi karena bahasa mempunyai cara-cara tertentu untuk
menunjukkan sikap hubung antarmasyarakat yang disebabkan oleh perbedaan status
sosial. Ada kelompok masyarakat tertentu yang dapat dihadapai seperti biasa.
Akan tetapi ada pula kelompok masyarakat tertentu yang harus dihormati. Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya
perbedaan status sosial di masyarakat. Beberapa di antaranya adalah karena
perbedaan fisik, keadaan ekonomi, alur
kekerabatan, perbedaan usia, jenis kelamin, kekhususan kondisi psikis, dan
sebagainya. Dengan demikian perbedaan rasa hormat yang tertuju kepada kelompok
atau golongan orang yang berbeda-beda ini sering terefleksi pada bahasa masyarakat
tersebut.
Dalam pemilihan
bentuk tingkat tutur yang tepat ketika seorang penutur berkomunikasi dengan
mitra tutur, ada pola
- pola
tertentu yang harus dipatuhi apabila ingin tuturannya dapat diterima sesuai
dengan pola yang berlaku dalam
masyarakat. Pola tersebut sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial yang di antaranya adalah jenis kelamin,
umur, pekerjaan, pendidikan, dan tingkat keakraban. Persamaan atau perbedaan faktor sosial di
antara peserta ujaran dapat menimbulkan hubungan simetris dan asimetris, akrab
dan tidak akrab, serta campuran diantara keduanya, yaitu simetris-akrab,
simetris-tidak akrab, asimetris-akrab, asimetris tidak akrab (Sasangka,
2007:147). Hal itu sangat mempengaruhi pemilihan bentuk tingkat tutur.
Penggunaan tingkat
tutur sangat mudah dijumpai di dalam masyarakat Jawa karena di Jawa
penggolongan masyarakat berdasarkan berbagai tingkatan masih sering dijumpai,
antara lain penggolongan berdasarkan usia, pekerjaan, pendidikan, keturunan,
kekayaan, dan sebagainya. Bahkan fenomena
tersebut dapat terjadi di mana pun termasuk dalam penyiaran berita seperti
dalam acara Kabar Awan di TATV.
Bahasa Jawa dengan
tingkat tuturnya, di televisi lokal tampak sangat akrab terdengar di telinga
pendengar karena televisi lokal adalah media yang dekat dengan masyarakat
sehingga bahasa yang digunakan adalah yang akrab dengan masyarakat setempat,
misalnya siaran televisi di Jawa, hampir semua televisi lokal di Jawa masih tetap memasukkan
acara-acara berbahasa Jawa karena bahasa sehari-hari masyarakatnya adalah
bahasa Jawa. Karena itu, tingkat tutur
bahasa Jawa dalam televisi lokal sangat mudah dijumpai.
Berdasarkan latar
belakang di atas, penelitian ini membahas tingkat tutur bahasa Jawa dalam
berita Kabar Awan di TATV untuk menemukan bentuk-bentuk tingkat tutur
dan faktor penentunya, tingkat tutur yang paling sering digunakan, pola pemilihan tingkat
tutur, dan pola pemilihan
leksikon.
B. Metodologi
Pengumpulan data
dalam penelitian ini dilaksanakan dengan dua teknik. Teknik-teknik yang digunakan
adalah teknik rekam dan teknik simak. Teknik simak dilakukan dengan cara menyimak dan menyadap
pembicaraan pembaca berita dan penelepon. Peneliti berperan sebagai pengamat
sambil menyimak pemakaian bahasa para penyiar berita dan para penelpon dalam
acara program berita Kabar Awan di TATV , sedangkan teknik rekam untuk merekam siaran program berita Kabar Awan di TATV. Alat
perekam yang dipakai adalah komputer dan TV tunner.
Alat tersebut bagus karena audio visual terekam langsung tanpa
ada suara dari luar televisi yang terekam. Perekaman data tersebut tidak
diketahui oleh para partisipan program telepon. Hal itu untuk menjaga pemakaian
bahasa yang bersifat wajar dan alami (natural). Hasil rekaman yang diperoleh
kemudian ditranskripsikan ke dalam bentuk tulisan. Data yang dikumpulkan berupa
data yang selengkap-lengkapnya dan bukan yang sebanyak-banyaknya. Ini dilakukan
untuk dapat menggambarkan wujud tingkat tutur bahasa Jawa pada program berita Kabar Awan di TATV.
Analisis data dalam
penelitian ini bersifat kontekstual, yaitu penelitian mengenai wujud bahasa
dengan memperhatikan konteks sosial. Menurut Dell Hymes (1974:53) konteks sosial
meliputi setting, participant, end, act
sequence, key, instrument, norm, genre yang di singkat menjadi akronim SPEAKING.
C. Kajian Pustaka
1. Kabar Awan
Kabar Awan merupakan salah satu
program unggulan di TATV. Program ini disiarkan dalam format berita
yang berdurasi 60 menit. Kabar Awan ditayangkan secara langsung
pada pukul 12.00 WIB sampai dengan pukul 13.00 WIB. Acara ini mempunyai target audience masyarakat Solo dan sekitarnya khususnya pria dan
wanita yang berusia 15 tahun keatas.
Keunikan program berita Kabar Awan
adalah pengemasan acara yang berupa program live
news yang menampilkan 9 berita
pilihan yang bisa dipilih oleh pemirsa secara langsung dan pemirsa bisa
memberikan komentar serta opini yang disampaikan dengan menggunakan bahasa Jawa
sehari-hari.
Kabar
Awan banyak diminati oleh
masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan
dengan banyaknya warga Solo dan sekitarnya yang mencoba berinterakasi melalui
telepon untuk memilih berita dan memberikan komentar atau opininya.
Banyak hal yang menarik untuk
diamati di berita Kabar Awan.
Selain berita-beritanya yang aktual, juga penggunaan bahasanya. Banyak fenomena bahasa yang menarik untuk
dicermati diantaranya adalah penggunaan ragam ngoko dan ragam krama
dalam bahasa Jawa.
2. Jenis Leksikon
Bahasa Jawa
Jenis leksikon bahasa Jawa terdiri
atas leksikon madya, krama, krama inggil, krama andhap, netral, dan ngoko.
a.
Leksikon Madya
Leksikon madya merupakan
leksikon krama yang kadar kehalusannya
rendah. Meskipun begitu, leksikon madya tetap
menunjukkan kadar kehalusan. Leksikon madya hanya
berjumlah sekitar 50 kosakata. Pemakaian leksikon madya sama dengan pemakaian
leksikon ngoko, yaitu dapat dipakai oleh Ol,
O2, dan O3. Leksikon madya hanya digunakan dalam
percakapan yang tidak resmi (informal). Beberapa contoh leksikon madya adalah empun 'sudah', ampun 'jangan', kajenge 'biar/biarkan',
kriyin 'dahulu', dan onten 'ada'.
b. Leksikon Krama
Leksikon krama merupakan
bentuk halus leksikon ngoko. Semua leksikon krama
pasti mempunyai padanan leksikon ngoko.
Leksikon krama dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu leksikon krama baku dan leksikon krama tidak baku. Leksikon krama baku disebut sebagai leksikon
krama standar, sedangkan leksikon
krama tidak baku disebut sebagai leksikon krama substandar. Leksikon
krama substandar lazim pula disebut dengan
nama krama desa. Munculnya leksikon krama desa ini
dikarenakan si pembicara, entah Ol atau O2,
kurang mengerti leksikon krama baku.
Leksikon krama desa ini dapat dipakai oleh Ol, O2, dan O3. Beberapa contoh leksikon krama baku adalah rumiyin 'dahulu', benjing 'sesuk',
siang 'awan', dalu 'esuk', dan kula 'saya', sedangkan
beberapa contoh leksikon krama desa atau krama substandar adalah kajenge 'maksudnya', onten 'ada',
tangklet 'tanya', lemantun 'lemari', dan konten 'pintu'.
c. Leksikon Krama Inggil
Leksikon krama inggil merupakan leksikon yang digunakan untuk menghormati mitra wicara dengan
jalan meninggikan mitra wicara. Leksikon ini hanya digunakan
untuk orang lain, baik untuk orang yang diajak berbicara atau O2 maupun untuk
orang yang dibicarakan atau O3. Leksikon ini tidak dapat digunakan oleh
diri sendiri atau oleh orang pertama (Ol). Beberapa
contoh leksikon ini adalah mustaka 'kepala', rikma 'rambut',
dhahar 'makan', siram 'mandi', dan tindak 'pergi'.
d. Leksikon Krama Andhap
Leksikon krama andhap merupakan leksikon yang digunakan untuk menghormati mitra wicara dengan jalan
merendahkan diri sendiri. Leksikon ini hanya dapat digunakan untuk
diri sendiri atau Ol dan tidak dapat
digunakan untuk orang lain, baik untuk orang yang sedang diajak berbicara (O2), maupun untuk orang yang sedang
dibicarakan (O3). Beberapa contoh leksikon ini adalah sowan 'menghadap',
paring 'beri', suwun 'pinta', dherek
'ikut', dan niatur 'berkata'. Jumlah leksikon ini hanya terbatas. Entri leksikon krama andhap hanya delapan, tetapi subentrinya mencapai puluhan kata.
e. Leksikon Ngoko
Leksikon ngoko merupakan leksikon dasar pembentukan leksikon lain. Oleh sebab itu, leksikon
ini mempunyai padanan leksikon krama,
madya, krarna inggil, dan/atau krama andhap. Beberapa contoh
leksikon ngoko adalah mata
'mata', cangkem 'mulut', linggih 'duduk', bojo 'istri/suami, dan 'nunggang
'naik'
f. Leksikon Netral
Leksikon netral merupakan
leksikon yang tidak mempunyai padanan leksikon krama,
madya, krama inggil, dan/atau krama andhap. Leksikon ini
dapat muncul pada ragam ngoko atau
ragam krama. Di dalam kamus bahasa Jawa, leksikon netral sering
disebut dengan leksikon ngoko krama karena
leksikon tersebut dapat muncul pada tataran ngoko dan pada
tataran krama.
4. Bentuk Tingkat
Tutur Bahasa Jawa
Tingkat tutur Bahasa Jawa atau yang disebut unggah - ungguh Bahasa Jawa oleh Wisnu Sasangka, secara emik dapat
dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu ngoko
(ragam ngoko) dan krama (ragam krama). Jika terdapat
bentuk unggah-ungguh yang lain dapat dipastikan bahwa bentuk-bentuk itu hanya
merupakan varian dari ragam ngoko
atau krama. Kedua bentuk unggah - ungguh tersebut akan diuraikan berikut ini.
a. Ragam Ngoko
Yang dimaksud dengan ragam ngoko
adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang berintikan
leksikon ngoko, atau yang menjadi
unsur inti di dalam ragam ngoko
adalah leksikon ngoko bukan leksikon
yang lain. Afiks yang muncul pada ragam
inipun semuanya berbentuk ngoko
(misalnya afiks di-, -e, dan –ake). Ragam ngoko
dapat digunakan oleh mereka yang sudah akrab dan oleh mereka yang merasa
dirinya lebih tinggi status sosialnya dari pada lawan bicara (mitra wicara).
Ragam ngoko mempunyai dua bentuk
varian, yaitu ngoko lugu dan ngoko alus. Kedua varian itu berbeda
secara etik, tetapi tidak berbeda secara emik.
1) Ngoko Lugu
Yang dimaksud dengan ngoko lugu adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa
yang semua kosakatanya berbentuk ngoko
dan netral (leksikon ngoko dan netral) tanpa terselip leksikon krama, krama inggil, atau krama andhap, baik untuk
O1, O2, maupun (O3). Afiks yang digunakan
di dalam ragam ini adalah afiks di-, -e, dan -ake bukan afiks dipun-,
-ipun, dan-aken. Afiks itu melekat pada leksikon ngoko atau netral.
2) Ngoko Alus
Yang dimaksud dengan ngoko alus adalah bentuk unggah-ungguh yang di dalamnva bukan hanya terdiri atas leksikon ngoko dan netral saja, melainkan juga terdiri atas leksikon krama inggil, krama andhap, dan krama. Namun, leksikon krama
inggil, krama andhap, atau leksikon krama
yang muncul di dalam ragam ini sebenarnya hanya digunakan untuk menghormati
mitra wicara (O2 atau O3). Leksikon krama inggil yang muncul di dalam ragam ini biasanya hanya terbatas pada
kata benda (nomina), kata kerja (verba), atau kata ganti orang (pronomina).
Jika leksikon krama andhap muncul dalam ragam ini, biasanya
leksikon itu berupa kata kerja, dan jika leksikon krama muncul dalam ragam ini, leksikon itu biasanya berupa kata
kerja atau kata benda. Afiks yang digunakan
dalam ngoko alus meskipun melekat pada leksikon krama inggil, krama andhap, dan krama tidak
jauh berbeda bentuknya dengan afiks yang melekat pada ngoko lugu, yaitu
menggunakan afiks penanda leksikon ngoko
(di-, -e, dan -ne).
b. Ragam Krama
Yang dimaksud dengan ragam krama adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa
yang berintikan leksikon krama, atau
yang menjadi unsur inti di dalam ragam krama
adalah leksikon krama bukan leksikon yang lain. Afiks yang muncul dalam ragam
ini pun semuanya berbentuk krama
(misalnya, afiks dipun-, -ipun, dan -aken). Ragam krama digunakan oleh mereka yang belum
akrab dan oleh mereka yang merasa dirinya lebih rendah status sosialnya
daripada lawan bicara. Ragam krama
mempunyai dua bentuk varian, yaitu krama
lugu dan krama alus. Kedua varian
itu berbeda secara etik, tetapi tidak berbeda secara emik. Uraian berikut ini
akan membahas hal itu
1) Krama Lugu
Istilah lugu pada krama lugu tidak didefinisikan seperti lugu pada ngoko lugu. Makna lugu pada ngoko lugu mengisyaratkan
makna bahwa bentuk leksikon yang terdapat di dalam unggah-ungguh tersebut
semuanya berupa ngoko. Sementara itu,
lugu dalam krama lugu tidak diartikan
sebagai suatu ragam yang semua kosakatanya terdiri atas leksikon krama, tetapi digunakan untuk menandai
suatu ragam yang kosakatanya terdiri atas leksikon krama, madya, netral, dan/ atau ngoko serta dapat ditambah leksikon krama inggil atau krama
andhap. Meskipun begitu, yang menjadi leksikon inti dalam ragam krama lugu adalah leksikon krama,
madya, dan/atau netral, sedangkan
leksikon krama inggil atau krama andhap yang muncul dalam ragam
ini hanya digunakan untuk menghormati lawan bicara. Kata tugas yang muncul
dalam ragam ini pun menurut Poedjasoedarma (1979) biasanya berupa leksikon madya.
Di atas telah disebutkan bahwa semua
afiks dalam ragam krama biasanya
berbentuk krama. Namun afiks yang
sering muncul dalam krama lugu ini justru berupa afiks ngoko. Afiks ngoko, di-, -e, dan -ake tampaknya cenderung lebih
sering muncul daripada afiks dipun-, -ipun, dan -aken. Selain
afiks ngoko, klitik madya mang- juga sering muncul
dalam ragam ini.
2) Krama A1us
Yang dimaksud dengan krama alus adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang semua kosakatanya terdiri atas leksikon krama dan dapat ditambah dengan leksikon
krama inggil atau krama andhap. Meskipun begitu, yang menjadi
leksikan inti dalam ragam ini hanyalah leksikon yang berbentuk krama. Leksikon madya dan leksikon ngoko
tidak pernah muncul di dalam tingkat tutur ini. Selain itu, leksikon krama inggil atau krama andhap secara konsisten selalu
digunakan untuk penghormatan terhadap mitra wicara. Secara semantis ragam krama alus dapat
didefinisikan sebagai suatu bentuk ragam krama
yang kadar kehalusannya tinggi. Dalam tingkat tutur ini afiks dipun-, -ipun, dan -aken
cenderung lebih sering muncul dari pada afiks di-, -e, dan – ake.
Dapat diamati, bahwa leksikon krama inggil dan krama
andhap selalu mendapat perlakuan yang
khusus, yaitu selalu digunakan untuk penghormatan terhadap lawan bicara dengan
cara meninggikan orang lain dan merendahkan diri sendiri. Untuk
meninggikan orang lain selalu digunakan leksikon krama inggil dan untuk
merendahkan diri sendiri selalu digunakan
leksikon krama andhap. Pemunculan leksikon krama inggil atau krama andhap dalam ragam ngoko
dapat mengubah ragam itu menjadi ngoko
alus (ngoko halus). Sementara itu,
pemunculan leksikon madya dan ngoko serta pemunculan afiks ngoko dan klitik madya (mang-) dalam
ragam krama dapat mengurangi kadar
kehalusan ragam itu, atau dengan
kata lain pemunculan afiks ngoko dan klitik madya
dalam ragam krama dapat mengubah
krama halus menjadi krama lugu.
Berdasarkan
uraian di atas, unggah-ungguh bahasa Jawa dan leksikon
pembentuknya tampak pada bagan di bawah ini.
Kata yang bercetak miring merupakan leksikon pengisi ragam yang berada di atasnya.
Bagan
Bentuk
Unggah-Ungguh
Bahasa Jawa
Ngoko Krama
Ngoko Lugu Ngoko
Alus Krama
Lugu Krama
Alus
Ngoko Ngoko
Krama Krama
Netral Netral
Netral Netral
Krama Madya Krama inggil
Krama inggil Krama inggil Krama andhap
Krama andhap Krama andhap
Tampak bahwa leksikon krama inggil dan/atau krama
andhap selalu muncul
dalam ngoko alus, krama lugu, dan krama alus. Yang menjadi pertanyaan adalah
mengapa unggah-ungguh ngoko yang di dalamnya terdapat leksikon krama inggil dan krama andhap disebut ngoko alus, sedangkan unggah-ungguh krama yang di dalamnya terdapat leksikon krama
inggil dan krama
andhap dapat disebut krama lugu atau krama alus. Secara sepintas memang dapat membingungkan, tetapi jika dicermati lebih mendalam ternyata yang menyebab-kan bentuk krama
alus menjadi krama lugu adalah karena munculnya leksikon madya dan/ atau leksikon ngoko di dalam unggah-ungghuh itu. Padahal, apabila leksikon madya dan ngoko muncul dalam suatu kalimat maka itu dapat mengurangi kadar kehalusan suatu ujaran.
D. Hasil dan Pembahasan
1. Bentuk tingkat tutur dan faktor
penentunya
Dalam berita Kabar Awan ditemukan tiga macam tuturan, yaitu tuturan yang berasal dari
teks berita yang dibacakan, tuturan langsung dari Penyiar Berita (PB) yaitu
penyiar berita yang pertama (PB1) dan penyiar berita yang kedua (PB2) dan
tuturan Penelpon (P). Sehubungan dengan
penelitian bentuk tingkat tutur bahasa Jawa pada berita Kabar Awan di TATV, maka
berikut akan disajikan temuan yang berupa tuturan-tuturan yang diklasifikasi sebagai berikut.
- Tuturan pada saat PB membuka acara
- Tuturan pada saat PB menyapa dan menawarkan pilihan berita kepada P
- Tuturan pada saat PB mengomentari isi berita
- Tuturan pada saat PB meminta tanggapan kepada P mengenai isi berita
yang dipilih
- Tuturan P pada saat menjawab sapaan atau pertanyaan PB
- Tuturan pada saat P memberikan tanggapan mengenai isi berita
- Tuturan pada saat PB mengakhiri acara
- Tuturan pada saat isi berita dibacakan.
Pembahasan pertama
adalah penentuan jenis leksikon pada masing-masing data, yaitu leksikon ngoko, leksikon netral, leksikon madya,
leksikon krama, leksikon krama andhap, dan leksikon krama inggil berdasarkan kamus bahasa
Jawa yang disusun oleh Sasangka (2005), Mangunsuwita (2002), dan Nugraha
(1994). Pembahasan berikutnya meliputi penentuan bentuk-bentuk tingkat tutur
menurut Sasangka (2007:126) yang membagi tingkat tutur menjadi dua ragam
yaitu ragam ngoko dan ragam krama. Ragam ngoko
terbagi menjadi dua yaitu ngoko alus dan ngoko lugu sedangkan
ragam krama juga terbagi dua yaitu krama alus dan krama lugu. Ragam tingkat tutur yang paling dominan di dalam Kabar Awan dapat diketahui setelah
penentuan bentuk tingkat tutur pada masing-masing data. Setelah bentuk tingkat tutur diketahui, kemudian
dilakukan analisis untuk mengetahui faktor penentu bentuk tingkat tutur
tersebut Adapun pembahasannnya tampak
pada pembahasan a sampai h berikut ini.
a. Tuturan pada saat PB membuka acara
Dalam penyajian
berita, Kabar Awan dipandu oleh dua
orang PB. Kedua PB membacakan teks
berita yang telah disediakan tetapi mereka juga menggunakan tuturan
langsung. Berikut ini adalah contoh
tuturan-tuturan yang dikutip dari pembukaan acara berita yang berisi sapaan
kepada pemirsa berita.
Ragam ngoko alus dipilih untuk membuka acara
berita Kabar Awan, untuk lebih jelasnya perhatikan wacana 1 berikut ini.
1. Pamirsa, ngaturake pambagya
wilujeng ing awan iki Heri Setyawan lan
Riri Harjanta bakal ngancani panjenengan kabeh ing program berita Kabar Awan,
Kemis Pahing selawe Desember rongewu wolu.
Iki selawe Desember, nah kuwi tumrape dina Riyaya Natal, tumrape para
umat Kristiani, awake dhewe uga tim redaksi, nilakake, sugeng ngrayakake hari
Raya Natal, mugi Gusti Amberkahi. Amin.
Ya iki engko kaya adate ana sangang kabar wigati sing bisa dipilih ya
mas…
Lan pamirsa bisa
milih pawarta lan paring tanggapan kanthi sambungan langsung lumantar nomer
telpon wolu lima pitu lima lima lima
Kabar
Awan TATV,25 Desember 2008
Terjemahan
1. ’Pemirsa, mengucapkan selamat siang pada
hari ini Heri Setyawan dan Riri Harjanta
akan menemani saudara semua di program berita Kabar Siang, Kamis Pahing dua
puluh lima Desember dua ribu delapan. Sekarang
dua puluh lima Desember, yaitu tepat pada hari raya Natal, tepatnya para Umat
Kristiani, kami beserta tim redaksi mengucapkan selamat merayakan hari raya
Natal semoga Tuhan memberkati. Amin. Pada saat ini seperti biasanya ada sembilan
berita penting yang bisa dipilih ya mas…
Dan pemirsa dapat memilih berita dan memberikan tanggapan dengan melalui
sambungan langsung dengan nomor telepon delapan lima tujuh lima lima lima’.
Kabar Awan
TATV, 25 Desember 2008
Wacana (1) adalah
pembukaan program berita yang berupa tuturan yang dituturkan oleh dua orang PB,
Heri Setyawan selaku PB pria dan Riri Harjanta selaku PB wanita. Untuk membedakan tuturan PB pria dan PB
wanita, penulisan dibuat berbeda.
Tuturan bercetak normal adalah tuturan PB pria sedangkan tuturan
bercetak miring (italic) adalah
tuturan PB wanita. Tuturan dalam wacana
(1) dapat dikelompokkan ke dalam ngoko
alus.
Ini dikarenakan terdapat
leksikon- leksikon pendukung ragam ngoko
alus di dalamnya. Leksikon-leksikon
tersebut antara lain adalah leksikon ngoko,
leksikon netral, leksikon krama, dan leksikon krama inggil.
Leksikon
ngoko dalam tuturan di atas meliputi
butir; ing ’pada’, awan ’siang’, iki ’ini’, lan ’dan’, bakal ’akan’, ngancani ’menemani’, kabeh
’semua’, selawe ’dua puluh lima’, bisa ’bisa’, pawarta ’berita’, wolu lima
pitu lima lima lima ’delapan lima tujuh lima lima lima’, sesambungan ’tersambung’, kuwi ’itu’, dina ’hari’, para ’para’,
awakedhewe ’kita’, uga ’juga’, nilaake ’mengucapkan’, ngrayaake
’merayakan’, riyaya ’raya’, ya ’ya’, engko ’nanti’, ana ’ada’,
adate ’biasanya’, wigati ’penting’, sing ’yang’, dipilih
’dipilih’, dan tumrape
’tepatnya’. Butir umat
’pengikut’, kristiani ’agama
Kristen’, tim redaksi ’tim kreatif’, Gusti ’Tuhan’, amin, sangang ’sembilan’,
mas ’panggilan untuk laki-laki Jawa’,
pamirsa ’penonton’, pambagya ’istilah penghormatan dari
bahasa Kawi’, Heri Setyawan ’nama
pembaca berita pria’, Riri Harjanta
’nama pembaca berita wanita’, nomer
’urutan angka’, telepon, tanggapan, kanthi ’dengan’, langsung,
lumantar ’melalui’, program berita, Kabar Awan ’nama program
berita’, Kemis ’Kamis’, Pahing ’nama hari Jawa’, Desember, dan milih ’memilih’ adalah leksikon-leksikon netral. Leksikon krama
yang terdapat pada data diatas antara lain; butir mugi ’semoga’, dan butir wilujeng
’selamat’. Sedangkan butir sugeng ’selamat’, ngaturke ’menyampaikan’, paring
’beri’, dan panjenengan ’anda’ adalah
leksikon-leksikon krama inggil.
Dengan
ditemukannya leksikon ngoko, leksikon
netral, leksikon krama, serta
leksikon krama inggil dalam wacana di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa ragam tingkat tutur yang digunakan adalah ngoko alus.
Untuk menentukan
tingkat tutur apa yang seharusnya digunakan dalam suatu tuturan, dipengaruhi
oleh faktor-faktor tertentu. Faktor
penentu tingkat tutur dari ketiga wacana di atas adalah tingkat formalitas hubungan perseorangan
antara orang pertama (O1) dan orang kedua (O2) yang dalam hal ini adalah antara
PB1 dan PB2 dan tujuan tutur PB1 dan PB2.
Penentu tingkat
formalitas dalam wacana diatas adalah keakraban PB1 dan PB2. Relasi kedua PB sebagai rekan kerja dengan
rutinitas yang sama membentuk keakraban antara PB1 dan PB2. Hal inilah yang dapat menjadi penentu
penggunaan tingkat tutur ngoko antara
PB1 dan PB2. Selain keakraban, usia juga dapat mempengaruhi bentuk tingkat
tutur yang digunakan. Usia PB1 dan PB2
yang relatif sama menyebabkan keduanya menggunakan bentuk tingkat tutur yang
kadar kehalusannya rendah yaitu ngoko karena tidak ada rasa segan di antara
keduanya.
Faktor lain yang juga
berpengaruh adalah tujuan. Tujuan
tuturan ini adalah untuk menyapa pemirsa dan mengundang pemirsa untuk
bergabung. Dalam hal ini, tuturan ngoko
yang dituturkan oleh PB untuk mendekatkan diri dengan pemirsa agar pemirsa
tertarik untuk bergabung melalui telepon interaktif tanpa rasa segan dan untuk
menimbulkan kesan akrab dengan pemirsa.
b.
Tuturan pada
saat pembaca berita menyapa dan menawarkan pilihan berita kepada penelpon
Selain tuturan
pembuka acara, dalam berita Kabar Awan juga ditemukan sapaan dan bagaimana
PB menawarkan berita atau memberi kesempatan kepada P untuk memilih berita atau
memberi tanggapan mengenai berita yang telah dibacakan. Ragam tuturan yang digunakan oleh PB dalam
menyapa P adalah krama alus. Tuturan-tuturan tersebut
melibatkan dua PB selaku penutur dan seorang P selaku mitra tutur yang
bercakap-cakap melaui telepon. Untuk memperjelas masing-masing wacana, perlu
diberikan keterangan bahwa tuturan bercetak tebal adalah tuturan yang
disampaikan oleh PB1. Tuturan bercetak
normal dalam kurung adalah tuturan PB2.
Tuturan bercetak miring dalam kurung adalah tuturan yang diucapkan oleh
PB1 dan PB2 secara bersamaan atau berbarengan.
Sedangkan tuturan bercetak normal dan bergaris adalah tuturan P. Dalam hal ini analisis difokuskan pada
tuturan yang dilakukan oleh PB. Untuk
lebih jelasnya, perhatikan contoh tuturan dalam wacana (2) berikut ini.
2. Hallo wilujeng siyang…
Hallo…
(inggih…kaliyan bapak sinten punika?)(kaliyan bapak sinten punika?)
Supriyanta,
Karangdawa (Bapak Supriyanta Karangdawa... inggih…?)(Bapak
Supriyanta Karangdawa… nuwunsewu bapak punika tv-nipun volumenipun radi
dipunkirangi…)
Inggih… (inggih…)
Badhe ngersakaken
kabar… menapa paring tanggapan pak?
Kabar Awan
TATV,29 Desember 2008
Terjemahan
2. ’Halo selamat siang
Hallo … (ya dengan
bapak siapa ini ?) (dengan bapak siapa
ini)
Supriyanto
Karangdowo (bapak Supriyanto
Karangdowo ya) (bapak Supriyanto Karangdowo … maaf bapak, tolong suara
tvnya agak dikecilkan ya …)
ya … (ya …)
Mau menginginkan berita … atau memberikan tanggapan pak ?’
Kabar Awan
TATV, 29 Desember 2008
Dalam wacana (2) ditemukan empat jenis leksikon yaitu leksikon
krama, leksikon krama inggil, leksikon krama
andhap, dan leksikon netral. Leksikon krama
dalam wacana diatas terdiri dari butir wilujeng
’selamat’, siyang ’siang’, inggih ’iya’, kaliyan ’sama’, sinten
’siapa’, punika ’ini’, radi ’agak’, dipunkirangi ’dikurangi’, tv-nipun
’tv-nya’, volumenipun ’suaranya’, dan
menapa ’apa’ . Ditemukan dua leksikon krama inggil yaitu butir nuwunsewu
’permisi’ dan butir ngersaaken
’menginginkan’. Sedangkan leksikon krama andhap yang terdapat dalam wacana
diatas hanya satu yaitu butir paring
’beri’. Butir hallo ’kata sapaan dalam bertelpon’, bapak ’panggilan orang tua
laki-laki Jawa’, Riyanta ’nama
penelpon’, dan Karangdawa ’tempat
tinggal penelpon’ adalah leksikon netral. Karena ditemukan leksikon krama, leksikon krama inggil, leksikon krama
andhap, dan leksikon netral dalam
data 4, maka dapat disimpulkan bahwa wacana tuturan ini adalah ragam krama alus.
Terdapat faktor
penentu untuk menentukan tingkat tutur yang digunakan dalam berkomunikasi. Faktor penentu yang paling menonjol dalam
tuturan yang dituturkan oleh PB1 dan PB2 kepada P dalam wacana (2) adalah
hadirnya O3 yaitu P dan tingkat formalitas hubungan PB dan P. Kehadiran P sebagai tamu dalam tuturan di atas menyebabkan PB
memilih bentuk tingkat tutur krama dengan cara menggunakan leksikon-leksikon krama dalam tuturannya. Hal ini dilakukan karena tingkat hubungan
antara PB dan P yang belum saling kenal sehingga tidak ada keakraban.
Tingkat tutur yang
digunakan dalam wacana di atas adalah ragam krama
alus.
Terdapatnya leksikon krama
inggil dalam tuturan-tuturan tersebut membentuk tingkat tutur ragam krama alus. PB akan selalu
berusaha menghargai dan menghormati P karena P adalah tamu dalam acara
tersebut. Kehadiran P dapat
menentukan keberhasilan program berita Kabar Awan karena apabila dalam acara tersebut tidak ada P maka acara
tidak dapat berjalan. Oleh karena itu,
PB berusaha menghormati P dengan menyisipkan leksikon krama inggil dalam
tuturanya sehingga tuturan tersebut berwujud ragam krama alus sebagai penghormatan kepada P.
c. Tuturan
pada saat pembaca berita mengomentari isi berita
PB dalam Kabar Awan selalu memberikan tanggapan
atau hanya menceritakan ulang isi berita.
Hal ini dilakukan setelah berita dibacakan ataupun setelah P memberikan
komentar tentang isi berita. PB memanfaatkan
waktu yang ada supaya tidak kosong sambil menunggu P masuk untuk bergabung
secara interaktif. Dalam memberikan
tanggapannya, PB, baik PB1 maupun PB2, melakukannya dengan cara bercakap-cakap
santai. Kedua PB berusaha saling
mendukung komentar masing-masing. PB1
dan PB2 memilih ragam tingkat tutur ngoko
lugu dalam dalam berinteraksi untuk
memberikan komentar berita. Lebih jelasnya, perhatikan tuturan dalam wacana (3)
berikut ini. Sebagai keterangan, perlu
diperhatikan bahwa tuturan yang bercetak miring adalah tuturan yang dituturkan
oleh PB1 sedangkan tuturan bercetak normal dalam kurung adalah tuturan yang
dituturkan oleh PB2.
3. iki babagan kraton durung
nyengkuyung ahli waris Sriwedari… iki ya… polemik.. he em… (pradondine ki
durung ana karampungane lan isih padha ngenteni)..
He em… ki warga masyarakat …. Kutha Sala ki ya jeng ki
ya wis pengin
banget babagan iki ya cepet rampung (cepet rampung… bisa dilakokake kanthi
ya… tentrem ya jeng ya… he em… saiki duweni aset Sriwedari, mesthine wae warga
Kutha Sala iki pengine ya.. bisa migunakake papan iku kanggo ya… refreshing…) bener
banget… (tapi mesthi wae orasah nganggo pradondi) he em... iki nek ra
rampung-rampung kaya ngene ki ngko ya ra nyaman ya jeng ya neng Sriwedari ya jeng….
Kabar Awan TATV,26 Desember
2008
Terjemahan
3. ’ini mengenai keraton yang belum menjunjung
ahli waris Sriwedari … ini juga polemik hm … (persengketaan sampai
sekarang belum ada penyelesaiannya dan masih sama nunggu …)
Hmm … ini warga masyarakat ... masyarakat kota Solo, ini juga saudari, ini
juga sudah menginginkan sekali mengenai ini juga ingin cepat selesai (cepat
selesai … bisa dilakukan dengan tentram ya saudara ya he em sekarang … memiliki
asset Sriwedari, harusnya warga kota Solo ini ingin ya bisa menggunakan
tempat itu untuk refreshing) benar sekali
(tapi mestinya tidak perlu adanya persengketaan) he em ini kalau tidak selesai-selesai seperti ini, ini nanti ya tidak
nyaman, ya saudari, di tempat Sriwedari, ya saudari..’
Kabar Awan
TATV, 26 Desember 2008
Tuturan dalam wacana
(3) tersusun dari leksikon-leksikon ngoko
dan netral. Butir iki
’ini’, durung ’belum’, ya ’ya’, pradondine ’persengketaannya’, ana
’ada’, krampungane ’penyelesaiannya’,
padha ’sama’, lan ’dan’, isih ’masih’, ngenteni ’menunggu’, kutha ’kota’, wis, ’sudah’ banget
’sangat’, cepet ’cepat’, bisa ’bisa’, dilakoake ’dijalankan’, saiki
’sekarang’, duweni ’mempunyai’, mesthine ’seharusnya’, wae ’saja’, pingine ’inginnya’, migunakake
’memanfaatkan’, iku ’itu’, kanggo ’untuk’, bener ’benar’, orasah
’tudak perlu’, nganggo ’menggunakan’,
kaya ’seperti’, ngene ’begini’, dan ngko
’nanti’ adalah leksikon-leksikon ngoko. Sedangkan leksikon netral dalam data 7 meliputi butir babagan ’mengenai’, kraton
’keraton’, ahli waris ’pewaris’, Sri Wedari ’nama tempat’, polemik ’masalah’, warga ’warga’, masyarakat
’masyarakat’, Sala ’nama kota’, Jeng ’panggilan untuk wanita muda’, pingin ’ingin’, rampung ’selesai’, kanthi
’dengan’ tentrem ’tentram’, aset ’aset’, papan ’tempat’, refreshing
’bersantai’, tapi ’tapi’, pradondi ’perselisihan’, dan nyaman ’nyaman’. Wacana (3) merupakan tuturan yang menggunakan
ragam tingkat tutur ngoko lugu karena
hanya terdiri dari leksikon ngoko dan
leksikon netral.
Tuturan yang berisi tanggapan yang
dilakukan oleh PB mengenai isi suatu berita, menggunakan tingkat tutur ngoko, yaitu ragam ngoko lugu. Ini terjadi karena tuturan dalam wacana (3),
PB tidak melibatkan P melainkan hanya murni tuturan antara PB1 dan PB2. Karena tidak ada hadirnya orang ketiga dalam
tuturan dan karena tingkat formatitas hubungan perseorangan antara PB1 dan PB2
yang erat maka punutur hanya memakai leksikon ngoko dan netral dalam
tuturannya sehingga terbentuklah ragam tingkat tutur ngoko lugu. Hal ini juga
dilakukan untuk menimbulkan kesan akrab dan mudah dipahami oleh pemirsa.
d.
Tuturan pada saat pembaca berita meminta tanggapan atau opini kepada
penelpon mengenai berita yang telah dipilih
Program berita Kabar
Awan tidak hanya memberikan kesempatan kepada P untuk memilih berita, tetapi
juga memperkenankan P untuk memberikan tanggapan mengenai berita yang sudah
dipilih P. Terjadi interaksi melalui
telepon antara PB dan P ketika PB mempersilahkan P untuk memberikan tanggapan
tentang isi suatu berita. Pembahasan
mengenai tingkat tutur kali ini dikhususkan pada tuturan PB pada waktu menyapa
P. Tuturan yang dituturkan oleh PB1
ditulis normal sedangkan tuturan yang di tuturkan oleh PB2 ditulis miring. Untuk lebih jelasnya, perhatikan tuturan
dalam wacana (4) berikut ini.
4. Inggih Pak Ratna, punika babagan golput
punika pak…
Kados pundi
pak menggah panjenengan…?
Kabar Awan TATV,30
Desember 2008
Terjemahan
4. ’ Ya Pak Ratno, ini mengenai golput pak …
Bagaimana pendapat Bapak … ?’
Kabar Awan
TATV, 30 Desember 2008
Ragam tingkat tutur
dalam wacana (4) adalah krama alus. Hal ini dibuktikan dengan hanya ditemukannya
tiga jenis leksikon pembentuk ragam krama
alus. Masing-masing leksikon
tersebut yaitu leksikon krama, netral, dan krama inggil. Leksikon krama
dalam wacana tuturan ini adalah butir inggih
’iya’, punika ’ini’, kadospundi ’bagaimana’, dan menggah ’menurut’. Sedangkan leksikon netral antara lain butir pak
’panggilan orang untuk orang tua lski-laki’, Ratna ’nama penelpon’, babagan
’mengenai’, dan golput ’tidak
menggunakan hak suara’. Butir panjenengan ’saudara’ adalah
satu-satunya leksikon krama inggil
yang ditemukan dalam wacana (4). Dengan
demikian, maka dapat disimpulkan bahwa
ragam yang digunakan dalam tuturan wacana (4) adalah krama alus karena tersusun dari leksikon
krama, leksikon netral, dan leksikon krama inggil.
Faktor penentu yang
paling menonjol dalam tuturan yang dituturkan oleh PB1 dan PB2 kepada P dalam
wacana (4) adalah hadirnya O3 yaitu P dan tingkat formalitas hubungan PB dan
P. PB memilih bentuk tingkat tutur krama dengan cara menggunakan
leksikon-leksikon krama dalam
tuturannya karena P adalah tamu dalam acara berita Kabar Awan. Hal ini dilakukan karena tingkat hubungan
antara PB dan P yang belum saling kenal sehingga tidak ada keakraban karena ini
adalah percakapan tanpa tatap muka karena ini percakapan melalui telepon.
Tingkat tutur krama yang digunakan dalam wacana di atas
adalah ragam krama alus.
Terdapatnya leksikon krama
inggil dalam tuturan-tuturan tersebut membentuk tingkat tutur ragam krama alus. PB menghormati P
karena P adalah tamu dalam acara tersebut.
Kehadiran P dapat menentukan
keberhasilan program berita Kabar
Awan karena banyaknya orang yang
ingin bergabung melalui telepon dapat menjadi tolok ukur keberhasilan acara
tersebut. Oleh karena itu, PB berusaha
menghormati P dengan mengunakan leksikon krama
inggil dalam tuturanya sehingga
tuturan tersebut berwujud ragam krama
alus
sebagai penghormatan kepada P.
e. Tuturan pada saat P menjawab sapaan PB
Ketika membalas atau
menjawab sapaan dan pertanyaan PB, P memilih menggunakan tingkat tutur yang
sama seperti tingkat tutur yang digunakan oleh PB yaitu krama alus atau
menggunakan tingkat tutur yang berkadarkehalusan lebih rendah seperti krama
lugu. Perhatikan wacana (5) berikut
ini. Tuturan bercetak normal dan
bercetak miring adalah tuturan PB sedangkan tuturan bergaris bawah adalah
tuturan P. Analisis akan difokuskan pada
tuturan P.
5.
Kaliyan Bapak Panca?
Sugeng
siyang… (inggih Bapak Panca punika nggih?…)
(Bapak Panca nggih…?) saking Kadipira…
Inggih, saking pundi nggih? (Kadipira…)
Badhe ngersakake
kabar ingkang pundi pak? (badhe
ngersakake kabar?)
Kadipira… (inggih,
badhe ngersakake kabar ingkang pundi?)
Niku...
ingkang nomer sekawan… gangsal wau nggih pak nggih…
Kabar Awan TATV, 27
Desember 2008
Terjemahan
5. Sama
bapak Ponco?
Selamat siang...(iya ini bapak Ponco ya?...) (Bapak
Ponco ya..?)
dari Kadipira
Iya dari mana ya? (Kadipira...)
Menginginkan berita yang mana pak? (mau meminta berita?)
Kadipira...( iya mau
mau minta barita yang mana?)
Itu...yang nomer
empat...lima tadi ya pak ya....
Kabar Awan TATV, 27
Desember 2008
Tuturan pada wacana
(5) adalah percakapan antara PB dan P yang berisi sapaan dan tawaran untuk
memilih berita yang dilakukan oleh PB kepada P.
Dalam tuturan yang dituturkan oleh P, dapat ditemukan leksikon krama, leksikon krama inggil, leksikon netral dan leksikon madya. Butir siyang ’siang’, inggih ’iya’, gangsal
’lima’, wau ’tadi’, sekawan ’empat’, ingkang ’yang’, saking
’dari’ adalah leksikon krama. Leksikon krama
inggil ditemukan satu yaitu butir sugeng ’selamat’. Butir niku ’itu’ merupakan leksikon madya.
Butir Kadipira ’nama tempat’, nomer ’urutan angka’, dan pak ’panggilan orang laki-laki’ termasuk
leksikon netral. Karena tuturan ini tersusun dari leksikon krama, leksikon krama inggil, leksikon madya,
dan leksikon nertal maka tuturan P dalam wacana (5) dapat dikategorikan ke
dalam tingkat tutur krama lugu.
Penggunaan tingkat
tutur krama lugu dan ngoko alus yang dituturkan oleh P,
walaupun PB menggunakan krama alus,
dipengaruhi oleh faktor usia dan keakraban.
P merasa sudah mengenal PB karena PB hampir setiap hari muncul di
televisi. Selain itu usia para PB yang
relatif masih muda juga mempengaruhi pemilihan tingkat tutur yang dilakukan
oleh P. Sedangkan penggunaan krama alus untuk memjawab pertanyaan dan
sapaan PB yang juga krama alus adalah
dipengaruhi oleh faktor situasi. Karena
ini percakapan melalui media televisi maka P mengganggap ini adalah situasi
formal sehingga perlu menggunakan krama
alus.
f. Tuturan pada saat penelpon
memberikan tanggapan atau opini mengenai isi berita.
Dalam memberikan
tanggapan mengenai isi berita P sedikit melibatkan PB dengan berinteraksi, seperti
yang tampak dalam wacana (6) di bawah
ini. Tuturan bergaris bawah adalah
tuturan yang dituturkan oleh P, sedangkan tuturan dalam kurung adalah tuturan
yang dituturkan oleh PB.
6. e… sak punika syarate presiden
kudu kalihdasa persen nggih berat nggih mbak nggih… (inggih…) … nggih kudu siap
menang apa kalah nggih pokoke kudu ikhlas… (inggih…) mboten pareng demo apa rusuh-rusuh pokoke
nggih menang sukur nggih kalah ya wis… nggih ngoten mawon pesan kangge Pak
Amien Rais…
Kabar Awan TATV,29
Desember 2008
Terjemahan
6. ’ e … sekarang ini syaratnya menjadi Presiden harus dua puluh persen,
ya berat ya mbak ya (ya …)
ya … harus
siap menang atau kalah, ya pokoknya harus ikhlas (ya…) tidak boleh
demo atau rusuh pokoknya menang ya syukur kalah ya sudah … ya begitu saja pesan
buat Pak Amien Rais.’
Kabar Awan
TATV, 29 Desember 2008
Leksikon-leksikon
yang terdapat di data 6 adalah leksikon ngoko,
leksikon netral, dan leksikon krama. Leksikon ngoko
dalam data ini terdiri dari butir sarate
’syaratnya’, kudu ’harus’, kalah ’kalah’, rusuh-rusuh ’kericuhan’, ya
’ya’, apa ’apa’, pokoke ’pokoknya’, dan wis
’sudah’. Butir persiden ’presiden’, berat
’berat’, mbak ’panggilan untuk kakak
perempuan’, siap ’siap’, pesen ’pesan’, menang ’menang’, ikhlas
’rela’, pareng ’boleh’, demo ’demo’,persen ’seperseratus’, sukur
’syukur’, pak ’panggilan untuk orang
tua laki-laki’, dan Amin Rais ’tokoh PAN yang dibicarakan dalam
berita’ termasuk leksikon netral. Sedangkan leksikon krama meliputi butir sakpunika
’sekarang’, kalihdasa ’dua puluh’, nggih ’ya’, ngoten ’begitu’, mawon
’saja’, dan mboten ’tidak’. Karena
leksikon-leksikon pembentuk tuturan pada data 13 adalah leksikon ngoko, leksikon netral, dan leksikon krama,
maka dapat dikatakan bahwa tingkat tutur yang digunakan adalah ragam ngoko alus.
Penutur dalam ketiga wacana di atas
adalah P dan yang menjadi mitra tutur adalah PB. P sebagai O1 menyampaikan tanggapannya
mengenai isi suatu berita. P menggunakan
tingkat tutur ngoko. Hal ini sangat dipengaruhi oleh tingkat
formalitas hubungan perseorangan antara P dan PB yaitu usia,dan keakraban dan
faktor tujuan tutur P.
P
di dalam program berita Kabar Awan di dominasi oleh bapak-bapak, ibu-ibu rumah
tangga, dan para pegawai kantor. Ini
dapat diketahui dari target siar Kabar Awan yang diantaranya adalah
bapak-bapak, ibu-ibu rumah tangga, dan para pegawai kantor, selain itu dapat pula
diamati berdasarkan suara P ketika menelpon.
Karena rata-rata usia PB yang masih muda maka dapat diketahui bahwa usia
P lebih tua dari pada PB. Di jawa faktor
usia memiliki peranan yang sangat signifikan dalam penentuan tingkat
tutur. Orang yang berumur lebih tua
dianggap wajar apabila berngoko
kepada orang yang lebih muda. Akan
tetapi sebaliknya orang yang lebih muda dianggap tidak sopan apabila berngoko kepada orang yang lebih tua. Dalam kasus ini, karena P lebih tua dari PB
maka P mengunakan tingkat tutur ngoko
ketika berkomunikasi dengan PB.
Selain
usia, keakraban juga dapat diamati dalam tuturan-tuturan tersebut. Apa bila dilihat dari sisi PB, maka PB tidak
bisa akrab dengan P karena PB tidak dapat melihat langsung P dan hanya dapat
mendengar suara P ketika P menelpon.
Dari segi kuantitas jelas P lebih banyak dari PB, jadi tentu sangat
sulit untuk menghafal atau mengenal P.
Akan tetapi berbeda jika diamati dari sisi P. P bisa melihat PB setiap hari karena
kemunculannya di televisi. P juga bisa melihat sekaligus mendengar
sehingga bagi P, PB sudah tidak asing lagi dan P merasa PB akrab di mata dan
telinga. Karena sudah merasa akrab
dengan PB maka P berngoko ketika berkomunikasi
dengan PB.
Faktor
lain selain tingkat formalitas hubungan antara P dan PB adalah tujuan tutur
P. Dalam bertutur P bertujuan memberi
tanggapan mengenai isi berita jadi penggunaan bentuk ngoko dapat mempermudah penjelasan atau penjabaran sesuatu sebab
jumlah pilihan leksikon ngoko lebih
banyak dari jenis leksikon yang lain.
Bentuk
tingkat tutur yang digunakan oleh P ketika memberikan tanggapan tentang isi
berita adalah ngoko khususnya ngoko alus.
Dikatakan ngoko alus sebab tuturan tersebut juga
mengandung leksikon krama inggil.
Pemakaian leksikon krama inggil disebabkan oleh faktor situasi
tutur. Karena tuturan ini ada pada acara
televisi dan pada program berita jadi tuturan ini bersifat formal. Karena bersifat formal maka penyisipan
lesikon krama inggil dilakukan untuk memperhalus tuturan.
g. Tuturan pada saat pembaca berita mengakhiri
acara berita
Bagian terakhir dari
Kabar Awan adalah penutupan. Tuturan ini
berisi tentang ucapan terimakasih PB sekaligus mewakili seluruh redaksi kepada
para pemirsa Kabar Awan yang sudah menyimak berita Kabar Awan. PB juga
menginformasikan bahwa para pemirsa bisa menyimak berita Kabar
Awan mulai hari Senin samapi Sabtu pada pukul dua belas siang dan pemirsa
juga dapat mengirimkan saran dan kritik kepada TATV melalui email. Dan yang terakhir PB mengucapkan selamat siang
dan selamat bertemu kembali pada program berita yang lain di TATV. Tuturan ini dituturkan oleh PB1 dan PB2. Tuturan bercetak miring adalah tuturan PB1
sedangkan tuturan PB2 bercetak normal. Perhatikan
tuturan pada wacana (7) berikut ini.
7. iya nanging
katone iki mau Pak Jarkani e…mujudake penelpon terakhir mas…
Ho o… awake dhewe sak
kanca redaksi ngaturake panuwun marang para pamirsa sing wus sesambungan
langsung karo Kabar Awan.
Pamirsa cukup
samene Kabar Awan ngancani panjenengan kabeh.
Pamirsa bisa nyawiji
maneh karo program berita Kabar Awan wiwit dina Senen nganti Sabtu wanci jam
rolas awan.
Panyaruhe lan
pramayogya, mangga katujakna marang TATV, lumantar email
TATV_mantep@yahoo.com. Pungkasane atur,
Sruti Respati…
Lan Heri Setyawan,
sak ugo konco redaksi ngaturake wilujeng siyang kanthi pangajab ketemu maneh
ing program berita liyane ing televisi panjenengan sak keluwarga.
TATV masa
kini dan tetap berbudaya. Nuwun.
Kabar Awan TATV,26
Desember 2008
Terjemahan
7. ’Ya sepertinya ini Pak Jarkoni merupakan
penelpon terakhir …
Ya … kita bersama
rekan redaksi mengucapkan terima kasih kepada para pemirsa ya telah tersambung
langsung dengan kabar siang.
Pemirsa cukup sekian kabar siang menemani
pemirsa semua.
Pemirsa bisa
bergabung lagi dengan program berita Kabar Siang mulai hari senin sampai sabtu
jam 12 siang.
Saran dan kritik bisa disampaikan kepada TATV
melalui e-mail TATV_mantep@yahoo.com yang terakhir, Sruti Respati …
Lan Heri Setyawan,
beserta rekan redaksi mengucapkan selamat siang sampai berjumpa lagi dalam
program berita lainnya di televisi anda sekeluarga.
TATV masa
kini dan tetap berbudaya. Terima kasih.’
Kabar Awan
TATV, 25 Desember 2008
Dalam tuturan wacana
(7) ditemukan empat jenis leksikon.
Keempat jenis leksikon tersebut adalah leksikon pembentuk ragam ngoko alus. Leksikon-leksikon tersebut
terdiri dari leksikon ngoko, leksikon
netral, leksikon krama, dan leksikon krama
inggil.
Butir iya ’iya’, katone ’kelihatannya’, iki
’ini’, mau ’tadi’, mujudake ’mewujudkan’, awakedhewe ’kita’, kanca ’teman’, marang
’kepada’, sing ’yang’, wis ’sudah’, karo ’sama’, cukup
’cukup’, samene ’segini’, ngancani ’, kabeh ’semua’, bisa
’bisa’, maneh ’lagi’, dina ’hari’, nganti ’sampai’, rolas
’dua belas’, panyaruhe ’saran’, lan ’dan’, katujakna ’ditujukan’, pungkasane
’akhirnya’, uga ’juga’, ketemu ’bertemu’, dan liyane ’lainnya’ merupakan
leksikon-leksikon ngoko. Leksikon netral
yang terdapat dalam tuturan diatas adalah butir pak ’panggilan untuk oarang tua laki-laki’, Jarkoni ’nama penelpon’, penelpon
’orang yang menelpon’, terakhir
’akhir’, mas ’panggilan kakak
laki-laki’, redaksi ’redaksi’, para ’para’, pamirsa ’penonton’, sesambungan
’tersambung’, langsung ’langsung’, Kabar Awan ’nama acara berita’, nyawiji ’bergabung’, program berita ’program berita’, wiwit ’mulai’, Senen ’Senin’, Setu
’Sabtu’, jam ’jam’, pramayoga ’kritik’, TATV ’nama stasiun TV’, lumantar
’melalui’, email ’email’, TATV_mantep@yahoo.com ’alamat email TATV’, Sruti Respati ’nama pembaca berita wanita’,
Heri Setyawan ’nama pembaca berita
pria’, kanthi ’dengan’, pangajab ’ketemu’, televisi ’televisi’, sak
’seluruh’, dan keluwarga
’keluarga’. Sedangkan butir nanging ’tapi’, wanci ’waktu’, mangga
’mari’, wilujeng ’selamat’, dan siyang ’siang’. Leksikon krama inggil meliputi butir ngaturaken ’menyampaikan’, panuwun ’terimakasih’, panjenengan ’saudara’, atur ’beri’, ngaturake ’menyampaikan’, dan nuwun
’terimakasih’.
Dalam tuturan wacana
(7) ditemukan leksikon ngoko,
leksikon netral, leksikon krama, dan leksikon krama inggil. Keempat leksikon tersebut merupakan leksikon
pembentuk ragam ngoko alus. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa ragam
tingkat tutur yang dipilih dalam wacana (7) adalah ngoko alus.
Ttuturan dalam wacana
(7) di atas, menggunakan ragam tingkat tutur ngoko alus yang tersusun
dari leksikon ngoko, leksikon netral, leksikon krama, dan leksikon krama
inggil. Untuk menentukan tingkat tutur apa yang
seharusnya digunakan dalam suatu tuturan, dipengaruhi oleh faktor-faktor
tertentu. Faktor penentu tingkat tutur
dari ketiga wacana di atas adalah
tingkat formalitas hubungan perseorangan antara PB1 dan PB2.
Penentu tingkat
formalitas dalam wacana diatas adalah
keakraban PB1 dan PB2. Relasi kedua PB
sebagai rekan kerja dengan rutinitas yang sama membentuk keakraban antara PB1
dan PB2. Hal inilah yang dapat memicu
penggunaan tingkat tutur ngoko antara
PB1 dan PB2. Selain keakraban, usia juga dapat mempengaruhi bentuk tingkat
tutur yang digunakan. Usia PB1 dan PB2
yang relatif sama menyebabkan keduanya mengunakan bentuk tingkat tutur yang
kadar kehalusannya rendah yaitu ngoko karena tidak ada rasa segan di antara
keduanya.
Faktor lain yang juga
berpengaruh adalah tujuan tutur. Tujuan
tuturan ini adalah untuk berpamitan kepada pemirsa. Dalam hal ini, tuturan ngoko yang dituturkan oleh PB untuk
mendekatkan diri dengan pemirsa dan untuk menimbulkan kesan akrab dengan
pemirsa.
Tingkat tutur yang
digunakan oleh PB1 dan PB2 adalah ngoko,
karena dalam tuturan tersebut juga terdapat leksikon krama dan krama inggil maka tingkat tutur yang digunakan
adalag ragam ngoko alus.
Ini dilakukan dengan alasan hadirnya O3 yaitu pemirsa, meskipun dalam
tuturan tersebut tidak melibatkan O3 secara langsung tetapi berupa sapaan yang
dilakukan oleh PB. Alasan munculnya
leksikon krama inggil adalah sebagai penghormatan kepada pemirsa Kabar Awan. Karena bentuk ngoko dapat dikaitkan dengan rasa akrab
dan leksikon krama dan krama alus dapat dikaitkan dengan rasa hormat, maka penggunaan ragam ngoko alus dalam wacana (7) dapat menimbulkan kesan akrab tetapi
menghormati.
h. Tuturan pada saat isi berita
dibacakan
Tuturan dalam wacana
berikut adalah tuturan berita Kabar Awan.
Tuturan berita ini adalah bentuk tulisan yang dibacakan oleh PB. Di sini hanya akan disajikan satu data
sebagai contoh karena dianggap sudah dapat mewakili tuturan berita yang
lain. Secara konsisten,
tingkat tutur yang digunakan dalam tuturan berita adalah bentuk ngoko.
Hal ini berkaitan dengan norma atau aturan dalam Kabar Awan yang
menetapkan tingkat tutur ngoko
sebagai tuturan berita. Lebih jelasnya,
perhatikan wacana (8) berikut ini.
8. Sakwise digoleki jrone sewengi wusanane petugas SAR Pantai Parangtritis
kasil nemokake korban kang dilaporake ilang ing dina Senen bengi kepungkur. Korban kang aran Sudiyana, 25 tahun, warga
Kali Pakel Danatirta Kecamatan Kreteg dinyatakake ilang sakwise nganti wengi
ora bali menyang omahe. Korban lunga
saka ngomah sak perlu golek suket kanggo pakan ingon-ingone. Nanging, kaduga korban kepleset lan klelep
ing Kali Opak. Sakwetara iku Kapolsek
Kreteg AKP S. Parman mratelakake saka asile praniti priksa petugas medis
Puskesmas Kreteg lan petugas identifikasi Polres Bantul saka jasade korban ora
ditemokake anane tindak aniaya, lan tiwase korban dinyatakake murni jalaran
kacilakan. Pihak keluargane korban uga
ora njaluk otopsi sahingga petugas langsung masrahake korban marang pihak
kaluwargane saperlu dipetak. Purwanto,
TA TV.
Kabar Awan
TATV, 26 Desember 2008
Terjemahan
8.’Setelah dicari dalam semalam, petugas SAR pantai Parangtritis berhasil
menemukan korban yang dilaporkan hilang pada hari Senin malam yang lalu. Korban yang bernama Sudiyono, 25 tahun, warga
Kalipakel Donotirta kecamatan Kreteg dinyatakan hilang setelah semalaman tidak pulang.
Korban pergi dari rumah untuk mencari rumput sebagai makanan
ternaknya. Korban diperkirakan
terpeleset dan tenggelam di sungai Opak.
Sementara, Kapolsek AKP S. Parman menjelaskan berdasarkan hasil
pemeriksaan petugas medis Puskesmas Kreteg dan petugas identifikasi polres
Bantul dari jasad korban tidak ditemukan tindak penganiayaan dan tewasnya
korban dinyatakan murni kecelakaan.
Pihak keluarga korban juga tidak meminta otopsi sehingga petugas
langsung menyerahkan jenazah korban kepada keluarga. Purwanto, TATV.’
Kabar Awan
TATV, 26 Desember 2008
Tuturan dalam wacana
(8) hanya terdiri dari leksikon ngoko
dan leksikon netral. Leksikon ngoko
dalam tuturan di atas antara lain adalah
butir sakwise ’setelah’, digoleki ’dicari’, jrone ’dalam’, sewengi
’semalam’, wusanane, nemokake ’menemukan’, dilaporke ’dilaporkan’, ilang ’hilang’, selawe ’dua puluh lima’, ing
’di’, dina ’hari’, bengi ’malam’, kepungkur ’yang lalu’, dinyataake
’dinyatakan’, nganti ’sampai’, wengi ’malam’, ora ’tidak’, bali
’pulang’, omahe ’rumahnya’, lunga ’pergi’, saka ’dari’, omah
’rumah’, golek ’mencari’, kanggo
’untuk’, ingon-ingone ’ternaknya’, iku ’itu’, mratelakake ’menjelaskan’, asile
’hasilnya’, jesate ’mayatnya’, ditemoake ’ditemukan’, anane ’adanya’, tiwase ’tewasnya’, jalaran
’karena’, keluargane ’keluarganya’, uga ’juga’, njaluk ’meminta’, masrahake
’memasrahkan’, marang ’kepada’, dan dipetak ’dimakamkan’. Sedangkan butir petugas ’orang yang bertugas’, SAR,
pantai parangtritis nama pantai’, kasil ’berhasil’, korban ’korban’, Senen
’nama hari’, aran ’bernama’, Sudiyana ’nama korban’, warga
’penduduk’, Kali Pakel ’nama dusun’, Danatirta ’nama desa’, kecamatan Kreteg ’nama kecamatan’, pakan ’makanan ternak’, kaduga ’diduga’, kepleset ’terpeleset’, klelep
’tenggelam’, Kali Opak ’nama sungai’,
Kapolsek, S.Parman ’nama Kapolsek’, praniti
’penelitian’, priksa ’pemeriksaan’, petugas medis ’petugas kesehatan’, Puskesmas ’kliink Pusat Kesehatan
Masyarakat’, identifikasi
’memeriksa’, polres Bantul, tindak ’perbuatan’, murni
’asli’, kacilakan ’kecelakaan’, otopsi ’periksa’, sehingga ’sehingga’, langsung
’langsung’, pihak ’kubu’, Purwanta ’reporter TATV, dan TATV ’nama stasuin TV lokal’. Karena diketahui, dalam tuturan tersebut
terdapat dua jenis leksikon yaitu leksikon ngoko
dan leksikon netral, maka dapat
disimpulkan bahwa tingkat tutur dalam wacana (8) adalah ngoko, khususnya ngoko lugu
karena tidak ditemukan leksikon krama
atau krama inggil.
Penggunaan bentuk
tingkat tutur ngoko lugu, dalam tuturan isi berita sangat
dipengaruhi oleh faktor norma atau aturan.
Sudah menjadi ketentuan bahwa tingkat tutur ngoko dipilih sebagai bahasa pengantar isi berita dengan alasan
ragam ngoko lebih mudah dipahami oleh
semua kalangan. Banyaknya jumlah
leksikon ngoko dibandingkan dengan
jenis leksikon lain juga menyebabkan ngoko
lebih mudah digunakan dalam tuturan.
Tuturan isi berita di Kabar Awan sangat konsisten menggunakan leksikon ngoko dan netral. Jarang terjadi
penyisipan jenis leksikon lain. Hal ini
disebabkan tuturan ini berasal dari teks yang ditulis sebelumnya.
Pembahasan bentuk
tingkat tutur dalam program berita Kabar Awan di atas dapat di dirangkum dalam
tabel berikut.
Tabel 1
Bentuk Tingkat Tutur
yang Digunakan dalam Kabar Awan
No
|
Tuturan
|
NL
|
NA
|
KL
|
KA
|
|
PB
membuka acara berita
|
√
|
|||
|
PB
menyapa P
|
√
|
|||
|
PB
mengomentari berita
|
√
|
|||
|
PB meminta P untuk mengomentari berita
|
√
|
|||
|
P menjawab sapaan atau pertanyaan PB
|
√
|
√
|
√
|
|
|
P mengomentari berita
|
√
|
|||
|
PB mengakhiri acara berita
|
√
|
|||
|
berita
|
√
|
Dari tabel dapat
diketahui bentuk tingkat tutur yang digunakan dalam Kabar Awan adalah ngoko lugu
(NL), ngoko alus (NA), krama lugu (KL), dan krama alus (KA). Dari tabel di atas juga dapat diketahui
bahwa ngoko alus adalah tingkat tutur
yang paling dominan. Ngoko alus
digunakan ketika PB membuka acara berita, ketika P memberi tanggapan isi
bertia, ketika P menjawab sapaan atau pertanyaan PB, dan ketika PB mengakhiri
atau menutup acara. Ragam ini identik
dengan keakraban tetapi masih mengandung tingkat kesopanan karena masih
terdapat leksikon krama inggil di
dalamnya.
2. Pola Pemilihan Bentuk Tingkat
Tutur
Untuk memilih bentuk
tingkat tutur, faktor sosial mitra tutur dan faktor situasi akan sangat
dipertimbangkan oleh seorang penutur ketika sedang terjadi tuturan. Menurut Fishman (1972:2-3) dalam Sasangka
(2007:147), ada beberapa faktor sosial tersebut antara lain, jenis kelamin,
umur, hubungan kekeluargaan, jabatan, pendidikan, pendapatan, tempat, waktu,
topik, tujuan dan tingkat keakraban. Adanya
perbedaan dan persamaan faktor sosial antara penutur dan mitra tutur
menyebabkan timbulnya hubungan simetris dan asimetris, akrab dan tidak akrab
serta perpaduan keduanya menjadi simetris-akrab, simetris-tidak akrab,
asimetris-akrab dan asimetris-tidak akrab.
Dalam penelitian kali ini hanya ditemukan tiga hubungan yang melibatkan
PB dan P yaitu hubungan simetris-akrab, asimetris-tidak akrab, dan asimetris
akrab
- Simetris – Akrab
Hubungan antara O1 dan O2
dikatakan simetris apabila keduanya memiliki faktor sosial yang sama sehingga
hubungannya sejajar, sedangkan disebut akrab apabila terdapat keeratan hubungan.
Kesimetrisan dan keakraban hubungan antara O1 dan O2 sangat mempengaruhi
tingkat tutur yang digunakan dalam suatu percakapan. Jika hubungan antara O1 dan O2 simetris dan
akrab, tingkat tutur yang sering digunakan adalah ngoko, baik ngoko lugu -
ngoko lugu atau ngoko alus – ngoko
alus. Dalam penelitian tingkat tutur
bahasa Jawa pada program berita Kabar Awan, hubungan simetris – akrab hanya
ditemukan satu ragam tingkat tutur ngoko
yaitu penggunaan ngoko lugu - ngoko lugu
seperti wacana (9). Wacana di
bawah adalah tuturan antara PB1 dan PB2.
Tuturan bercetak miring adalah tuturan PB1. Tuturan bercetak normal adalah tuturan
PB2. Sedangkan tuturan dalam kurung
adalah tuturan yang dituturkan oleh PB1 dan PB2 secara bersamaan.
9. Iki eman banget Bu Tin saka Tipes
wis sesambungan ning kepedhot… muga-muga mengko bisa sesambungan maneh Mas
Heri… (he em…)
Iya… isih ana kabar-kabar liyane sing
ndungkap Natal, daging glonggongan mratah iki mau… (he em..)
Lan iki pancen yen
ariraya… tumapak ariraya akeh sing mbutuhake… lan diaturake maneh jeng Riri…
(he.. eh…)
Kabar Awan TATV, 25
Desember 2008
Terjemahan
9. ’Ini sayang sekali Bu Tin dari
Tipes sudah tersambung tapi terputus....mudah-mudahan nanti bisa tersambung
lagi Mas Heri....(he em..)
Iya...masih ada kabar-kabar lainnya yang
membahas Natal, daging glonggongan mratah iki mau...(he em...)
Dan ini memang kalau
hari raya....menjelang hari raya banyak yang membutuhkan.....dan disampaikan
lagi jeng Riri...(he..eh..)’
Kabar Awan TATV, 25
Desember 2008
Tuturan dalam wacana
(9) menunjukkan hubungan antara O1 dan
O2 yang dalam hal ini adalah PB1 dan PB2 simetris dan akrab. Kesimetrisan
hubungan antara PB1 dan PB2 dapat dilihat dari kesamaan pekerjaan keduanya
yaitu sebagai penyiar di satasiun
televisi yang sama sehingga dapat dikatakan sejajar. Sedangkan hubungan antara PB1 dan PB2
dikatakan erat atau akrab karena keduanya adalah rekan kerja sehingga
intensitas pertemuan keduanya cukup tinggi dan dimungkinkan terjadi keeratan
hubungan antara PB1 dan PB2. Oleh sebab
itu tuturan yang digunakan keduanya adalah bentuk ngoko yaitu ragam ngoko lugu. Ini berarti PB1 menggunakan ngoko lugu kepada PB2 dan PB2 juga
menggunakan ngoko lugu kepada
PB1.
Selain ragam tingkat
tutur ngoko lugu – ngoko lugu, dalam
hubungan simetris-akrab antara PB1 dan PB2, juga ditemukan tuturan ngoko lugu berpasangan dengan ngoko
alus yang sebenarnya kurang sesuai dengan kaidah yang sudah ada selama ini
yaitu tuturan ngoko lugu berpasangan
dengan ngoko lugu dan ngoko alus berpasangan dengan ngoko alus. Untuk lebih jelasnya perhatikan tuturan dalam
wacana (10) di bawah ini.
10. Iki mau emane Pak Narno mungkasi Kabar Awan dina iki jeng… ya awake dhewe ngaturake agunge panuwun marang
kabeh pamirsa kang wus manunggal nyawiji marang… e.. Kabar Awan…
Kabar Awan TATV, 26
Desember 2008
Terjemahan
10. Ini sayang sekali Pak Narno mengakhiri Kabar Awan hari ini Jeng….ya kita ucapkan terima kasih banyak kepada
seluruh pemirsa yang sudah menyimak dan setia kepada Kabar Awan….
Kabar Awan TATV, 26
Desember 2008
Dalam tuturan di
atas, PB2 (tuturan bercetak normal) menggunakan ragam ngoko lugu karena semua
leksikon yang terdapat di dalamnya adalah jenis leksikon ngoko dan netral. Sedangkan PB1 (tuturan bercetak miring)
menggunakan ragam ngoko alus. Itu dapat dibuktikan dengan munculnya
leksikon krama inggil ngaturke ’menyampaikan’ diantara
leksikon ngoko dan leksokon netral.
Fenomena tersebut dapat dijelaskan dengan alasan hadirnya O3 yang dalam
hal ini adalah pemirsa Kabar Awan, walaupun sebenarnya O3 di sini
tidak terlibat secara langsung dalam
suatu percakapan. Akan tetapi adanya
unsur sapaan kepada pemirsa menyebabkan munculnya leksikon krama inggil sebagai
alasan penghormatan kepada pemirsa.
Inilah yang menyebabakan tuturan antara PB1 dan PB2 menjadi ngoko lugu – ngoko alus.
- Asimetris – Tidak
Akrab
Hubungan asimetris
atau tidak sejajar dan hubungan tidak akrab antara O1 dan O2 akan menghasilkan
tuturan krama alus - krama alus
seperti yang tampak dalam wacana di bawah ini.
PB, baik PB1 maupun PB2 berposisi sebagai O1 karena tidak terjadi
komunikasi antarPB,yaitu PB1 dan PB2.
Kedua-duanya bekomunikasi dengan O2 yaitu P. Tuturan bercetak normal adalah tuturan PB1,
tuturan bercetak miring dalam kurung adalah tuturan PB2, sedangkan tuturan
bergaris bawah adalah tuturan P.
11. Hallo wilujeng
siyang Pak Temon…
Inggih
wilujeng siyang mbak… (inggih…)
Wonten pundi Bapak…?
Inggih
pangapunten sak derengipun… (inggih…) kula… nanggapi ingkang PNS
(inggih… nyuwun pangapunten Pak Temon
punika saking pundi nggih…?)
Saking
Karanganyar… (saking
Karanganyar…inggih kados pundi menggah panjenengan Pak Temon..?)
Kabar Awan
TATV, 25 Desember 2008
Terjemahan
11’Hallo selamat siang Pak Temon....
Iya selamat siang
mbak....(iya)
Ada dimana ini Bapak...?
Iya maaf sebelumnya...(iya..) saya ...mau menanggapi yang PNS. (Iya..mohon maaf Pak Temon ini dari mana
ya...?)
Dari Karanganyar...(saking Karanganyar...iya bagaimana menurut
Pak Temon...?)’
Kabar Awan
TATV, 25 Desember 2008
Hubungan antara PB
dan P adalah asimetris tidak akrab.
Hubungan antara P dan PB dapat dianalogikan sebagai tamu dan tuan
rumah. Tamu adalah P dan tuan rumah
adalah PB. Adanya ungkapan di masyarakat
yang menyatakan bahwa tamu adalah raja, menempatkan posisi P di atas PB yang
artinya P berkedudukan lebih tinggi dari pada PB sehingga PB selaku penutur
berusaha menghormati P selaku mitra tutur dengan menggunakan bahasa yang halus
dengan cara memilih leksikon krama
dan memasukkan leksikon krama inggil dalam tuturannya untuk
menghormati dan meninggikan P.
Hubungan antara P dan
PB bersifat asimetris atau tidak sejajar karena P dianggap memiliki posisi
lebih tinggi dari PB. Faktor lain juga
dapat mempengaruhi pemilihan bentuk tingkat tutur. Faktor yang dimaksud adalah faktor
keakraban. Karena komunikasi antara Pdan
PB terjalin melalui telepon tanpa tatap muka, maka dapat disimpulkan antara P
dan PB memiliki tingakat keakraban yang rendah atau bahkan tidak akrab. Karena hubungan antara P dan PB dalam tuturan wacana bersifat asimetris - tidak
akrab maka keduanya menggunakan tuturan ragam krama alus, artinya PB menggunakan krama alus kepada P dan P menggunakan krama alus kepada PB
- Asimetris – Akrab
Apabila hubungan
antara O1 dan O2 tidak sejajar atau asimetris tetapi hubungan keduanya akrab,
pada umumnya akan menggunakan tingkat tutur ngoko
alus – krama alus, ngoko lugu – ngoko alus, krama lugu – krama lugu, dan ngoko lugu – krama lugu. Kaidah tersebut agaknya tidak berlaku pada
wacana (12) di bawah ini.
12.Wilujeng siang mbak ayu… (inggih…)
(bapak badhe ngersakaken kabar nomer pinten pak…?)
Nomer niku…
nomer tiga nggih mbak.. (nomer tiga, revisi perda ngawekani daging
glonggongan nggih pak…?)
Kabar Awan TATV, 26 Desember 2008
Terjemahan
12’Selamat
siang mbak cantik…(iya...)
(bapak menginginkan berita nomer berapa Pak...?)
Nomer
itu....nomer tiga ya mbak....(nomer tiga, revisi perda tentang daging
glonggongan ya pak...?)
Kabar Awan TATV, 26
Desember 2008
Tuturan dalam wacana
(12) adalah tuturan antara PB dan P.
Tuturan bergaris bawah dituturkan oleh P, sedangkan tuturan bercetak
miring dan tuturan bercetak normal dalam kurung adalah tuturan PB. Berbeda dengan kaidah yang berlaku dalam
hubungan asimetris – akrab yang sudah disebutkan diatas, tuturan antara P dan PB menggunakan tuturan krama lugu - krama alus. P menggunakan krama lugu kepada PB dan PB menggunakan krama alus kepada P. PB
menggunakan krama alus karena PB sangat menghormati P sebagai tamunya. P menggunakan krama lugu karena merasa sudah akrab dengan PB. Kemunculan PB yang hampir setiap hari di
televisi menjadiakn PB sebagai orang yang tidak asing lagi bagi P, jadi P dapat
menganggap kalau dirinya sudah mengenal, sehingga ketika berkomunikasi
seolah-olah dirinya berkomunikasi dengan orang yang sudah diakrabinya hal itu
dapat dilihat pada wacana (12) khususnya ketika P menyapa PB dengan Wilujeng siang mbak ayu....’Selamat
siang mbak yang cantik’ sapaan seperti itu tidak sesuai jika ditujukan kepada
orang yang tidak diakrabi. P menggunakan
sapaan itu karena dia merasa sudah akrab.
Akan tetapi keakraban di sini hanya dapat dilihat dari satu sisi yaitu
dari sisi P saja, sebab hal ini sangat berbeda apabila dilihat dari sudut
pandang PB. Walaupun setiap hari PB menyapa pemirsanya, PB tidak dapat melihat
atau mendengar pemirsanya secara audio visual.
Sehingga tidak memungkinkan bagi PB untuk merasa akrab dengan
pemirsanya. Tuturan dalam wacana di atas bersifat asimetris – akrab dengan
tuturan krama lugu – krama alus jika
diamati dari sudut pandang P.
3. Pola Pemilihan Leksikon
Tidak semua leksikon ngoko mempunyai padanan leksikon krama, krama inggil, dan krama
andhap. Hal itu dapat menyebabkan
timbulnya kendala ketika peserta tutur memilih jenis lesikon tertentu ketika
terjadi suatu pembicaraan. Di satu sisi
leksikon ngoko hanya memiliki padanan
leksikon krama, atau hanya krama inggil, dan atau krama andhap. Di sisi lain
leksikon ngoko memiliki padanan
leksikon krama, krama inggil, dan krama
andhap.
Dalam tuturan
sehari-hari, jika O1 menghormati O2, kaidah yang digunakan selama ini adalah O1
akan menggunakan leksikon krama dan krama inggil kepada O2, sedangkan untuk
diri sendiri, O1 akan tetap akan menggunakan krama dan krama andhap.
Di satu sisi, kadang kala O1 harus menggunakan krama inggil untuk meninggikan O2, tetapi di sisi lain O1 harus
merendahkan diri sendiri dengan menggunakan krama
andhap. Hal itu juga berlaku bagi O2, di satu sisi
kadang kala dia harus menggunakan krama
inggil untuk meninggikan O1, tetapi
di sisi lain ia pun harus merendahkan diri dengan menggunakan krama andhap.
Walaupun begitu,
apabila krama inggil digunakan untuk menghormati mitra tutur itu tidak ada wujud
leksikalnya, leksikon tersebut cenderung berbentuk krama. Demikian halnya jika krama andhap digunakan untuk merendahkan
diri sendiri ternyata tidak memiliki bentuk leksikal, leksikon kramalah yang akan digunakan. Namun jika leksikon krama andhap yang akan digunakan untuk merendahkan diri itu tidak
memiliki padanan leksikon krama, leksikon ngoko dan netral akan digunakan. Jadi
penggunaan krama inggil untuk merendahkan diri sendiri demi menghormati mitra tutur,
entah pembicara O1 atau O2 tetap tidak dibenarkan. Perhatiakan tuturan dalam wacana (13) berikut
ini.
13. Inggih… saking Karanganyar badhe ngersakaken kabar ingkang pundi Pak
Agus?
Nomer gangsal
mbak.
Nomer gangsal nggih… (nomer
gangsal, nyolong HP, tikus kampus kecekel)
Mangga dipunpirsani
lajeng saged paring tanggapan.
...........................................................****.................................................................
Inggih Pak Agus… (punika bibar nyolong
ethok-ethok sholat …) tanggapan
panjenengan kados pundi Pak Agus…?
Nyuwun
pangapunten, janipun kula ngajengaken ingkang berita Karanganyar
punika…
Kabar Awan TATV, 25
Desember 2008
Terjemahan
13. ’ Iya….dari Karanganyar mau menginginkan
berita yang mana Pak Agus?
Nomer lima mbak
Nomer
lima ya....(nomer lima, mencuri HP, tikus kampus tertangkap)
Silahkan menyimak beritanya kemudian bisa
memberi tanggapan.
...........................................................***...................................................................
Iya Pak Agus...(ini setelah mencuri pura-pura sholat...) tanggapan
Pak Agus bagaiamana....?
Mohon maaf
....sebenarnya saya menginginkan berita Karanganyar itu...’
Kabar Awan TATV, 25
Desember 2008
Tuturan bercetak
miring dan tuturan bercetak normal dalam kurung adalah tuturan O1 yaitu PB,
sedangkan tuturan yang dicetak bergaris bawah adalah tuturan O2 yaitu P. Butir ngersaaken
’menginginkan’ yang ditanyakan oleh PB kepada P merupakan leksikon krama inggil. PB
bertanya menggunakan leksikon tersebut karena ingin menghormati P. Cara yang ditempuh oleh PB adalah menggunakan
krama inggil tersebut. Sementara itu, untuk melakukan hal yang sama,
yaitu menghormati PB, P juga harus merendahkan dirinya dengan menggunakan krama andhap. Namun leksikon ngersaaken tidak memiliki padanan krama andhap, sehingga P menggunakan leksikon krama yaitu butir ngajengaken
’menginginkan’. Apabila P menggunakan krama inggil * Nyuwun
pangapunten, janipun kula ngersaaken ingkang berita Karanganyar
punika… maka tuturan P menjadi tidak berterima. Karena ngersaaken
memiliki padanan krama ngajengaken. Selain padanan krama, butir ngersaaken juga mempunyai padanan
leksikon ngoko yaitu ngarepke, namun jika P menggunakan ngoko, tuturan tersebut juga menjadi
tidak berterima seperti *Nyuwun pangapunten, janipun kula ngarepke
ingkang berita Karanganyar punika…
Akan tetapi kaidah
yang mengharuskan O1 menggunakan leksikon krama
dan krama inggil kepada O2,
menggunakan krama dan krama andhap untuk diri sendiri, tampaknya tidak berlaku dalam sapaan
atau salam, seperti yang terjadi dalam tuturan PB dan P berikut ini.
14. Wilujeng
siang Bapak Puthut… (wilujeng siyang..)
Inggih… (inggih Pak Puthut punika nggih…) Inggih…
sugeng siyang… mbak Sruti…
Inggih bapak sugeng siyang…
Keleresan
punika wonten dalemipun Ibu Maryati… (inggih
Pak Putut….)
Badhe nyuwun
kabar ingkang nomer e… enem kalawau pak…
Nomer enem ngenani pengecer rabuk ingkang
protes kabijakan gubernur nggih…? Inggih mbak…
Mangga dipun pirsani langkung rumiyin…
Kabar Awan TATV, 27
Desember 2008
Terjemahan
14.’Selamat siang Bapak Putut...(selamat siang..)
Iya....(iya Pak Putut ini ya...) Iya...selamat
siang....mbak Sruti..
Iya bapak selamat siang....
Kebetulan ini di
rumah Ibu Maryati...(iya Pak Putut...)
Mau minta berita
nomer enam tadi Pak...
Nomer enam mengenai pengecer pupuk
yang protes kebijakan gubernur ya...? Iya
mbak..
Sialahkan disimak dulu...’
Kabar Awan TATV, 27
Desember 2008
Dalam tuturan di
atas, PB menyapa P dengan sapaan wilujeng
siang, karena suara yang kurang jelas saat itu maka P tidak dapat
mendengarnya, sehingga P langsung menyapa PB dengan sugeng siyang. Yang terjadi dalam wacana (14) adalah PB
mengawali sapaan dengan menggunakan leksikon krama yaitu butir wilujeng
’selamat’. Karena dalam tuturan tersebut
P juga mengucapakan salam, tetapi dengan butir sugeng ’selamat’ yang merupakan leksikon krama inggil maka secara
langsung PB berusaha menyesuaikan dengan menggunakan leksikon krama inggil butir sugeng. Apabila PB tetap menggunakan butir wilujeng ketika menjawab maka itu bisa
mengesankan kurang hormat. Jadi jika O1 menyapa O2 dengan sapaan yang berwujud krama inggil karena ingin menghormati O2, O2 tidak perlu menjawab dengan
tingkat leksikon yang lebih rendah sebab itu justru tidak mengesankan rasa
hormat. Hal itu disebabkan, sapaan itu
selalu untuk O2 maka seharusnya dijawab dengan jenis leksikon yang sama.
E. Penutup
Tingkat Tutur Bahasa
Jawa dalam Program Berita Kabar Awan
di TATV Solo memperoleh simpulan berikut.
1.
Dalam program berita Kabar Awan ditemukan empat bentuk tingkat
tutur. Empat bentuk tersebut
masing-masing adalah ngoko lugu, ngoko
alus, dan krama alus.
2. Penentu pemilihan bentuk tingkat
tutur dipengaruhi oleh faktor formalitas hubung perseorangan antara O1 dan O2
yang terdiri atas keakraban dan umur, faktor hadirnya O3, faktor tujuan tutur,
dan faktor norma atau aturan.
3. Dari analisis dapat diketahui
tingkat tutur ngoko alus adalah tingkat tutur yang paling dominan
dalam Kabar Awan.
4.
Dalam penelitian ini ditemukan tiga hubungan yang melibatkan PB dan P
yaitu hubungan simetris-akrab, asimetris-tidak akrab, dan asimetris-akrab. Hubungan simetris-akrab adalah hubungan
sejajar antara PB1 dan PB2 yang disebabkan keduanya memiliki posisi yang sama
sebagai karyawan TATV yaitu sebagai
pembaca berita dan hubungan akrab antara PB1 dan PB2 yang memiliki
keeratan. Hubungan tersebut menghasilkan
tingkat tutur ngoko lugu berpasangan dengan ngoko lugu dan ditemukan pula tingkat tutur ngoko lugu berpasangan dengan ngoko
alus dalam tuturan antara PB1 dan PB2.
Hal ini dipengaruhi oleh hadirnya O3 walupun sebenarnya O3 tidak hadir
secara langsung. Akan tetapi adanya
unsur sapaan kepada pemirsa menyebabkan munculnya leksikon krama inggil sehingga merubah tingkat tutur ngoko lugu menjadi ngoko
alus. Hubungan asimetris-tidak akrab
adalah hubungan tidak sejajar dan tidak akrab antara O1 dan O2 yang dalam hal
ini PB sebagai O1 dan P sebagai O2. PB
menempatkan posisi P di atas dirinya yang artinya P berkedudukan lebih tinggi
dari pada PB. Hubungan antara P dan PB yang bersifat asimetris atau tidak
sejajar menghasilkan tingkat tutur krama alus dengan krama alus artinya PB
menggunakan krama alus kepada P dan P
menggunakan krama alus kepada
PB. Hubungan antara O1 dan O2 tidak
sejajar atau asimetris tetapi hubungan keduanya akrab, di dalam Kabar Awan
ditemukan pola pasangan tingkat tutur krama lugu dan krama alus. P menggunakan krama lugu kepada PB dan PB menggunakan krama alus kepada P.
5.
Tidak semua leksikon ngoko
mempunyai padanan leksikon krama, krama inggil, dan krama andhap. Hal itu dapat
menyebabkan timbulnya kendala ketika peserta tutur memilih jenis lesikon
tertentu ketika terjadi suatu pembicaraan.
Di satu sisi leksikon ngoko
hanya memiliki padanan leksikon krama,
atau hanya krama inggil, dan atau krama andhap. Di sisi lain
leksikon ngoko memiliki padanan
leksikon krama, krama inggil, dan krama
andhap. Apabila krama inggil yang digunakan untuk menghormati
mitra tutur itu tidak ada wujud leksikalnya, leksikon tersebut cenderung
berbentuk krama. Demikian halnya jika krama andhap digunakan untuk merendahkan diri sendiri ternyata
tidak memiliki bentuk leksikal, leksikon kramalah
yang akan digunakan. Namun jika leksikon
krama andhap yang akan digunakan
untuk merendahkan diri itu tidak memiliki padanan leksikon krama, leksikon ngoko dan netral akan digunakan. Jadi penggunaan krama inggil untuk
merendahkan diri sendiri demi menghormati mitra tutur, entah pembicara O1 atau
O2 tetap tidak dibenarkan. Akan tetapi
pola yang mengharuskan O1 menggunakan leksikon krama dan krama inggil
kepada O2, menggunakan krama dan krama andhap untuk diri sendiri, tampaknya tidak berlaku dalam sapaan
atau salam, misalnya salam sugeng siyang’selamat
siang’ yang merupakan krama inggil bila jiwab dengan krama ‘wilujeng siyang
’selamat siang’ justru tidak mengesankan rasa hormat. Hal itu disebabkan, sapaan itu selalu untuk
O2, maka seharusnya dijawab dengan jenis leksikon yang sama.
Daftar Pustaka
Haryana
Harjawiyana dan Supriya. 2002. Kamus
Unggah-Ungguh Bahasa Jawa. Yogyakarta : Kanisius.
Hymes, D. 1974. On The Communicative Cmpetence. Dalam
J.B Pride dan B. Holmas (Ed). 1976. Sosiolinguistics. England .
Pinguin Books.
Muda, D.I.
2005. Jurnalistik Televisi Menjadi
Reporter Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Nugraha,
K. 1994.
Kamus Indonesis – Jawa. Solo:
CV. Buana Raya.
Palapah, M.O.
Drs., Syamsudin, Atang. 1983. Studi Ilmu
Komunikasi. Bandung: Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran.
Poedjosoedarmo,
Soepomo. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Sasangka,
S.S.T.W. 2005. Kamus Jawa-Indonesia
Krama-Ngoko. Jakarta: Yayasan Paramalingua
Sasangka,
S.S.T.W. 2007.Unggah-Ungguh Bahasa Jawa.
Jakarta: Yayasan Paramalingua.
No comments:
Post a Comment