BAHASA WARIA
PERWAJO JOMBANG
Banyak sekali sisi- sisi menarik dari bahasa yang dipakai berkomunikasi sehari - hari untuk diteliti. Sebagai sarana komunikasi bahasa dapat menyebarkan berbagai macam informasi. Bahasa dapat menghubungkan antarpemakainya tanpa batasan ruang dan waktu. Berbagai macam suasana; sedih, gembira, marah, santai ataupun serius dapat dideskripsikan melalui bahasa. Dari berbagai macam bentuk pemakaiannya, bahasa bahkan mampu mengungkapkan jati diri seseorang seperti; jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, sosial budaya, hingga karakteristik penutur dan sebagainya.
Di dalam masyarakat ada komunikasi atau saling hubung antaranggota. Untuk itu diperlukan suatu wahana yang dinamakan bahasa. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa setiap masyarakat pasti mempunyai alat komunikasi sosial tersebut. Tidak ada masyarakat tanpa bahasa dan tidak ada bahasa tanpa masyarakat (Suparno, 2002). Dalam penggunaannya bahasa mempunyai fungsi – fungsi. Fungsi umum bahasa adalah sebagai alat komunikasi sosial. Para ahli mempunyai pendapat yang berbeda- beda. Sehubungan dengan fungsi bahasa, sekurang - kurangnya terdapat delapan kelompok pendapat. Dari delapan kelompok tersebut dapat dinyatakan bahwa bahasa memiliki satu fungsi, dua fungsi, tiga fungsi, empat fungsi, lima fungsi, enam fungsi, tujuh fungsi, dan sepuluh fungsi.
Akibat dari keragaman fungsi bahasa dan keragaman sosial penutur bahasa serta untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan mayarakat yang beraneka ragam maka muncullah variasi bahasa. Variasi bahasa adalah keanekaragaman bahasa yang disebabkan oleh faktor – faktor tertentu (Suparno, 2002). Jenis variasi bahasa dapat dibedakan menurut penutur dan pemakaiannya. Variasi bahasa akan terus berkembang dan bermunculan seiring berkembangnya budaya masyarakat. Salah satu contohnya adalah bahasa slang. Yang dimaksud dengan slang adalah variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia. Variasi ini digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas dan tidak diketahui oleh kalangan di luar kelompok itu (Chaer, 1995). Kaum waria adalah salah satu contoh pengguna bahasa slang.
Waria adalah manusia yang terlahir secara fisik sebagai laki – laki, namun secara psikis sebagai perempuan. Mereka mempunyai ketertarikan kepada sesama jenis yaitu laki – laki (homosexual). Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa mereka adalah wanita yang terjebak di tubuh laki – laki. Karena itu mereka dinamakan waria yang berasal dari akronim wanita + pria. Dalam berpenampilan mereka tampak aneh bila dibandingkan dengan manusia lain pada umumnya. Waria sering berpenampilan layaknya perempuan bahkan terkadang lebih mencolok dari perempuan, berbusana wanita, berdandan secara berlebihan, dan suka memamerkan bagian tubuh tertentu. Banyak orang yang tidak suka dengan fenomena seperti ini. Waria sering diejek, dicemooh, dikucilkan atau dijauhi, dan mendapatkan perlakuan diskriminatif yang lain dari masyarakat sekitarnya. Sehingga banyak dari mereka yang lari meninggalkan rumah dan kampung halamannya untuk membentuk komunitas sendiri sesama waria. Karena latarbelakang itu, mereka memiliki bahasa komunitas sendiri (slang) yang hanya dipahami oleh kaum waria agar percakapan mereka tidak dimengerti oleh orang lain di luar komunitasnya.
Bahasa waria memiliki banyak kosakata yang unik dengan pembentukan kaidah perubahan bunyi yang produktif dan teramalkan yang berwujud affiksasi, pelesapan bunyi dan inversi, seperti contoh berikut:
Kaidah:
a. ambil tiga bunyi pertama; konsonan (K) + vocal (V) + K
b. tambah si di depannya
c. bunyi K-akhir disesuaikan dengan kaidah umum dalam bahasa Jawa: /y/ hilang, /ny/ menjadi /n/
Tidak jarang pula terjadi penciptaan istilah baru atau pemberian makna lain pada istilah umum yang sudah ada dengan cara mengambil kata secara asal tanpa memperhatikan kaidah pembentukan kata. Mereka mengambil kata secara utuh untuk digunakan sebagai kata baru dalam bahasa mereka namun telah terjadi pengubahan makna leksikal secara total, namun banyak pula kata yang tetap mengalami proses perubahan tanpa kaidah, misalnya pada kata – kata berikut:
Istilah yang merujuk pada kegiatan seksual:
rebong – rebong = raba – raba
singrat, greong = hubungan seks gratis
sistem tisu = sering berganti mitra dalam hubungan seks
Begitulah kaum waria bersama komunitasnya membentuk ragam bahasa slang agar bahasa mereka tidak dapat dimengerti oleh orang lain di luar komunitasnya. Berikut adalah contoh penggalan percakapan antara dua waria.
Rika: “Meong yuuuk.” ‘ayo main (bersetubuh)’
Tiwi: “Oh…. bencong loh..!!!” ‘oh…(dasar) banci kamu..!!!’
Rika: “Sori-sori, Jeng” ‘maaf-maaf, (panggilan kepada sesama waria yang lebih muda)’
Dialog ini terjadi ketika kedua waria tersebut sedang saling mengejek tetapi dalam situasi bercanda. Dari penggalan percakapan tersebut dapat dilihat ada campur kode yang terjadi. Meong, bencong, dan Jeng adalah bahasa waria. Sori diambil dari bahasa Inggris dan yuuuk berasal dari ayo bahasa Jawa dan Indonesia sedangkan loh sebutan kamu dialek Jakarta. Kalau diamati, bahasa waria tersebut memiliki kaidah pembentukan kata. Perhatikan kata meong dan bencong, dari dua kata tersebut bisa dibuat kaidah dengan ambil tiga atau dua bunyi pertama dari bahasa aslinya, ubah bunyi kedua (vocal) menjadi e, lalu tambahkan suffiks –ong. Sementara kata Jeng diambil dari bahasa lain secara langsung tanpa kaidah perubahan bunyi tetapi secara semantis berubah makna. Dilihat dari segi fungsi, percakapan tersebut mengandung fungsi emotif karena ada sedikit unsur jengkel seperti pada Oh…bencong loh…!!! Dan karena dilakukan dalam situasi bercanda. Variasi bahasa dari segi penuturnya, ini termasuk sosiolek khususnya slang karena hanya digunakan oleh kaum waria saja sedangkan variasi bahasa dari segi keformalan, ini termasuk ragam intim. Hal ini tampak jelas pada pemakaian kalimat yang tidak lengkap tetapi lawan tutur akan tahu dengan jelas maksudnya.
Meskipun waria memiliki komunitas sendiri, mereka masih tetap bersosialisasi dengan orang lain diluar komunitasnya oleh karena itu mereka tidak hanya menggunakan bahasa waria saja melainkan juga mengunakan bahasa asal mereka. Kadang – kadang mereka berkomunikasi dengan bahasa waria namun kadang – kadang juga menggunakan bahasa asal mereka dan tidak jarang mereka mencampur bahasa tersebut saat berkomunikasi. Semua tergatung kepada siapa lawan bicaranya.
Penelitian ini akan mengambil lokasi di kabupaten Jombang, sebuah kota kecil di Jawa Timur. Di Jombang terdapat organisasi kaum waria yang bernama PERWAJO (Persatuan Waria Jombang). Menurut data tercatat 150 waria telah menjadi anggota organisasi tersebut. Hal menarik di sini adalah predikat kota santri yang melekat pada kota Jombang. Walaupun berpredikat kota santri dengan penduduk muslim yang besar jumlahnya dan memiliki banyak sekali pondok pesantren. Jombang tetap memberi ruang terhadap eksistensi kaum waria meskipun agama Islam jelas mengharamkannya.
Berdasarkan latar belakang bahasa waria, adanya fungsi – fungsi, banyaknya variasi dan faktor – faktor yang mempengaruhi bahasa waria serta uniknya kaidah pembentukan kata dalam bahasa waria, penelitian ini menjadi menarik untuk dilakukan.
Di dalam masyarakat ada komunikasi atau saling hubung antaranggota. Untuk itu diperlukan suatu wahana yang dinamakan bahasa. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa setiap masyarakat pasti mempunyai alat komunikasi sosial tersebut. Tidak ada masyarakat tanpa bahasa dan tidak ada bahasa tanpa masyarakat (Suparno, 2002). Dalam penggunaannya bahasa mempunyai fungsi – fungsi. Fungsi umum bahasa adalah sebagai alat komunikasi sosial. Para ahli mempunyai pendapat yang berbeda- beda. Sehubungan dengan fungsi bahasa, sekurang - kurangnya terdapat delapan kelompok pendapat. Dari delapan kelompok tersebut dapat dinyatakan bahwa bahasa memiliki satu fungsi, dua fungsi, tiga fungsi, empat fungsi, lima fungsi, enam fungsi, tujuh fungsi, dan sepuluh fungsi.
Akibat dari keragaman fungsi bahasa dan keragaman sosial penutur bahasa serta untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan mayarakat yang beraneka ragam maka muncullah variasi bahasa. Variasi bahasa adalah keanekaragaman bahasa yang disebabkan oleh faktor – faktor tertentu (Suparno, 2002). Jenis variasi bahasa dapat dibedakan menurut penutur dan pemakaiannya. Variasi bahasa akan terus berkembang dan bermunculan seiring berkembangnya budaya masyarakat. Salah satu contohnya adalah bahasa slang. Yang dimaksud dengan slang adalah variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia. Variasi ini digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas dan tidak diketahui oleh kalangan di luar kelompok itu (Chaer, 1995). Kaum waria adalah salah satu contoh pengguna bahasa slang.
Waria adalah manusia yang terlahir secara fisik sebagai laki – laki, namun secara psikis sebagai perempuan. Mereka mempunyai ketertarikan kepada sesama jenis yaitu laki – laki (homosexual). Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa mereka adalah wanita yang terjebak di tubuh laki – laki. Karena itu mereka dinamakan waria yang berasal dari akronim wanita + pria. Dalam berpenampilan mereka tampak aneh bila dibandingkan dengan manusia lain pada umumnya. Waria sering berpenampilan layaknya perempuan bahkan terkadang lebih mencolok dari perempuan, berbusana wanita, berdandan secara berlebihan, dan suka memamerkan bagian tubuh tertentu. Banyak orang yang tidak suka dengan fenomena seperti ini. Waria sering diejek, dicemooh, dikucilkan atau dijauhi, dan mendapatkan perlakuan diskriminatif yang lain dari masyarakat sekitarnya. Sehingga banyak dari mereka yang lari meninggalkan rumah dan kampung halamannya untuk membentuk komunitas sendiri sesama waria. Karena latarbelakang itu, mereka memiliki bahasa komunitas sendiri (slang) yang hanya dipahami oleh kaum waria agar percakapan mereka tidak dimengerti oleh orang lain di luar komunitasnya.
Bahasa waria memiliki banyak kosakata yang unik dengan pembentukan kaidah perubahan bunyi yang produktif dan teramalkan yang berwujud affiksasi, pelesapan bunyi dan inversi, seperti contoh berikut:
- banci → siban
- lanang ‘laki-laki’ → silan
- payu → sipa
- wedok ‘perempuan’ → siwed
- nyonya → sinyon
Kaidah:
a. ambil tiga bunyi pertama; konsonan (K) + vocal (V) + K
b. tambah si di depannya
c. bunyi K-akhir disesuaikan dengan kaidah umum dalam bahasa Jawa: /y/ hilang, /ny/ menjadi /n/
Tidak jarang pula terjadi penciptaan istilah baru atau pemberian makna lain pada istilah umum yang sudah ada dengan cara mengambil kata secara asal tanpa memperhatikan kaidah pembentukan kata. Mereka mengambil kata secara utuh untuk digunakan sebagai kata baru dalam bahasa mereka namun telah terjadi pengubahan makna leksikal secara total, namun banyak pula kata yang tetap mengalami proses perubahan tanpa kaidah, misalnya pada kata – kata berikut:
Istilah yang merujuk pada kegiatan seksual:
rebong – rebong = raba – raba
singrat, greong = hubungan seks gratis
sistem tisu = sering berganti mitra dalam hubungan seks
Begitulah kaum waria bersama komunitasnya membentuk ragam bahasa slang agar bahasa mereka tidak dapat dimengerti oleh orang lain di luar komunitasnya. Berikut adalah contoh penggalan percakapan antara dua waria.
Rika: “Meong yuuuk.” ‘ayo main (bersetubuh)’
Tiwi: “Oh…. bencong loh..!!!” ‘oh…(dasar) banci kamu..!!!’
Rika: “Sori-sori, Jeng” ‘maaf-maaf, (panggilan kepada sesama waria yang lebih muda)’
Dialog ini terjadi ketika kedua waria tersebut sedang saling mengejek tetapi dalam situasi bercanda. Dari penggalan percakapan tersebut dapat dilihat ada campur kode yang terjadi. Meong, bencong, dan Jeng adalah bahasa waria. Sori diambil dari bahasa Inggris dan yuuuk berasal dari ayo bahasa Jawa dan Indonesia sedangkan loh sebutan kamu dialek Jakarta. Kalau diamati, bahasa waria tersebut memiliki kaidah pembentukan kata. Perhatikan kata meong dan bencong, dari dua kata tersebut bisa dibuat kaidah dengan ambil tiga atau dua bunyi pertama dari bahasa aslinya, ubah bunyi kedua (vocal) menjadi e, lalu tambahkan suffiks –ong. Sementara kata Jeng diambil dari bahasa lain secara langsung tanpa kaidah perubahan bunyi tetapi secara semantis berubah makna. Dilihat dari segi fungsi, percakapan tersebut mengandung fungsi emotif karena ada sedikit unsur jengkel seperti pada Oh…bencong loh…!!! Dan karena dilakukan dalam situasi bercanda. Variasi bahasa dari segi penuturnya, ini termasuk sosiolek khususnya slang karena hanya digunakan oleh kaum waria saja sedangkan variasi bahasa dari segi keformalan, ini termasuk ragam intim. Hal ini tampak jelas pada pemakaian kalimat yang tidak lengkap tetapi lawan tutur akan tahu dengan jelas maksudnya.
Meskipun waria memiliki komunitas sendiri, mereka masih tetap bersosialisasi dengan orang lain diluar komunitasnya oleh karena itu mereka tidak hanya menggunakan bahasa waria saja melainkan juga mengunakan bahasa asal mereka. Kadang – kadang mereka berkomunikasi dengan bahasa waria namun kadang – kadang juga menggunakan bahasa asal mereka dan tidak jarang mereka mencampur bahasa tersebut saat berkomunikasi. Semua tergatung kepada siapa lawan bicaranya.
Penelitian ini akan mengambil lokasi di kabupaten Jombang, sebuah kota kecil di Jawa Timur. Di Jombang terdapat organisasi kaum waria yang bernama PERWAJO (Persatuan Waria Jombang). Menurut data tercatat 150 waria telah menjadi anggota organisasi tersebut. Hal menarik di sini adalah predikat kota santri yang melekat pada kota Jombang. Walaupun berpredikat kota santri dengan penduduk muslim yang besar jumlahnya dan memiliki banyak sekali pondok pesantren. Jombang tetap memberi ruang terhadap eksistensi kaum waria meskipun agama Islam jelas mengharamkannya.
Berdasarkan latar belakang bahasa waria, adanya fungsi – fungsi, banyaknya variasi dan faktor – faktor yang mempengaruhi bahasa waria serta uniknya kaidah pembentukan kata dalam bahasa waria, penelitian ini menjadi menarik untuk dilakukan.
No comments:
Post a Comment